"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap "Merdeka atau Mati". Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!! Merdeka!!" demikian transkrip pidato Radio Bung Tomo yang dipancarkan dari Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia di Surabaya, 9 November 1945.
Agitasi dan propaganda dengan penggunaan Battle Cry 'Allahu Akbar' tersebut berdasarkan resolusi jihad yang dikeluarkan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadlratussyaikh KH Hasyim Asyari pada tanggal 25 Oktober 1945, 15 hari sebelum pecahnya pertempuran Surabaya. Anthropolog Belanda, Martin van Bruinessen, mengatakan resolusi jhad tersebut berdampak besar dalam mengobarkan semangat 10 November 1945. Sayangnya, resolusi jihad ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dari para sejarawan.
"Resolusi itu menunjukkan bahwa NU mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka," kata Bruinessen dalam bukunya NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (hal 98).
Sedangkan Menurut Achmad Muhibbin Zuhri (2012), terdapat dua naskah resolusi jihad. Pertama, naskah Resolusi Djihad fi Sabilillah, berisi pandangan-pandangan dan pertimbangan yang berkembang pada rapat besar wakil-wakil daerah (konsul 2: Jawa-Madura) pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Naskah kedua adalah Resoloesi Moe'amar Nahdlatoel Oelama' ke-XVI di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946.
Hadratus Syaikh Hasyim Asyari mendasarkan resolusi jihad dari fatwa yang keluarkan pada pertemuan terbatas para ulama di Pesantren Tebuireng pada 14 September 1945. Ada tiga poin penting dalam kedua naskah resolusi jihad itu. Pertama, hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ain bagi setiap muallaf yang berada dalam radius masafat al-safar, kedua perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, dan oleh karena itu umat Islam yang mati dalam peperangan itu adalah syahid, dan ketiga, mereka yang mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah, wajib hukumnya dikenakan jinayah berat. Selanjutnya *
Tampilkan postingan dengan label 9 November 1945. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 9 November 1945. Tampilkan semua postingan
Senin, 11 November 2013
Fatwa Jihad Hasyim Asyari dan Pertempuran Surabaya
Langganan:
Postingan (Atom)