Tatkala buku
The Grand Design terbit, sekitar 3 tahun yang silam, sambutan publik tidak semeriah ketika
The Brief History of Time dipublikasikan. Kendati begitu,
Stephen Hawking, penulisnya, tak kurang piawai dalam menyemarakkan kemunculan The Grand Design di muka umum. Guru Besar Matematika di Cambridge University itu mengeluarkan pernyataan yang memancing kembali diskusi soal relasi di antara sains dan agama. Katanya: “
Ada perbedaan fundamental antara agama yang didasarkan atas otoritas dan sains yang didasarkan atas observasi dan nalar.”
Dalam bukunya, Hawking menulis: “Karena adanya hukum seperti gravitasi, tata surya dapat dan akan membentuk dirinya sendiri.
Penciptaan spontan adalah alasannya mengapa sekarang ada ‘sesuatu’ dan bukannya kehampaan, mengapa alam semesta ada dan kita ada. Tidak perlu memohon kepada Tuhan untuk memulai segalanya dan menggerakkan alam semesta.” Ia bahkan berujar: “
Sains akan menang.”
Sebagaimana Hawking, ilmuwan Inggris lainnya,
Richard Dawkins, juga menampik kehadiran
Sang Pencipta dengan beranjak dari titik berangkat yang sama: sains didasarkan atas
bukti yang dapat diverifikasi, sedangkan
keyakinan agama bukan hanya
tidak punya bukti, tapi bahkan kemandiriannya dari bukti adalah kebanggaan dan kesenangannya. Biolog-evolusioner ini meyakini bahwa
evolusi—yang ia sebut sebagai “sang desainer buta”—menggunakan
trial and error secara kumulatif untuk bisa mencari ruang yang luas dari struktur-struktur yang mungkin.
Kedua ilmuwan itu beranggapan bahwa
ketidakcocokan sains dan agama dikarenakan oleh
perbedaan tajam epistemologi yang melatari keduanya.
Sains merupakan studi
sistematis atas observasi terhadap
alam dengan
indera manusia dan bantuan instrumen saintifik.
Agama, di lain pihak, mengajarkan bahwa manusia memiliki ‘
indera dalam’ yang memungkinkan manusia
mengakses realitas transenden (
spiritual) yang melampaui dunia yang kasat mata.
Berlawanankah keduanya? Sebagian ilmuwan berpendapat, keduanya
tak bisa diakurkan. Karena itu, fisikawan
Victor Stenger heran apabila ada ilmuwan yang sanggup menerima
keduanya secara bersamaan. Masing-masing bagian otak, kata Stenger,
mestinya tak mungkin menerima dua hal yang bertentangan sekaligus.
Sumber