Senin, 03 Juni 2013

IPTEK (Sains) Versus Spiritualitas? (1)

Tatkala buku The Grand Design terbit, sekitar 3 tahun yang silam, sambutan publik tidak semeriah ketika The Brief History of Time dipublikasikan. Kendati begitu, Stephen Hawking, penulisnya, tak kurang piawai dalam menyemarakkan kemunculan The Grand Design di muka umum. Guru Besar Matematika di Cambridge University itu mengeluarkan pernyataan yang memancing kembali diskusi soal relasi di antara sains dan agama. Katanya: “Ada perbedaan fundamental antara agama yang didasarkan atas otoritas dan sains yang didasarkan atas observasi dan nalar.”

Dalam bukunya, Hawking menulis: “Karena adanya hukum seperti gravitasi, tata surya dapat dan akan membentuk dirinya sendiri. Penciptaan spontan adalah alasannya mengapa sekarang ada ‘sesuatu’ dan bukannya kehampaan, mengapa alam semesta ada dan kita ada. Tidak perlu memohon kepada Tuhan untuk memulai segalanya dan menggerakkan alam semesta.” Ia bahkan berujar: “Sains akan menang.”

Sebagaimana Hawking, ilmuwan Inggris lainnya, Richard Dawkins, juga menampik kehadiran Sang Pencipta dengan beranjak dari titik berangkat yang sama: sains didasarkan atas bukti yang dapat diverifikasi, sedangkan keyakinan agama bukan hanya tidak punya bukti, tapi bahkan kemandiriannya dari bukti adalah kebanggaan dan kesenangannya. Biolog-evolusioner ini meyakini bahwa evolusi—yang ia sebut sebagai “sang desainer buta”—menggunakan trial and error secara kumulatif untuk bisa mencari ruang yang luas dari struktur-struktur yang mungkin.

Kedua ilmuwan itu beranggapan bahwa ketidakcocokan sains dan agama dikarenakan oleh perbedaan tajam epistemologi yang melatari keduanya. Sains merupakan studi sistematis atas observasi terhadap alam dengan indera manusia dan bantuan instrumen saintifik. Agama, di lain pihak, mengajarkan bahwa manusia memiliki ‘indera dalam’ yang memungkinkan manusia mengakses realitas transenden (spiritual) yang melampaui dunia yang kasat mata.

Berlawanankah keduanya? Sebagian ilmuwan berpendapat, keduanya tak bisa diakurkan. Karena itu, fisikawan Victor Stenger heran apabila ada ilmuwan yang sanggup menerima keduanya secara bersamaan. Masing-masing bagian otak, kata Stenger, mestinya tak mungkin menerima dua hal yang bertentangan sekaligus.


Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
//** Like Button FB **//
//** Like Button FB **//