Tampilkan postingan dengan label sains. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sains. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Juni 2013

IPTEK (Sains) Versus Spiritualitas (4)

Begitu pula, ketika berusaha memperkuat teori evolusi Charles Darwin, Dawkins berkata: “..bersama seleksi alam, faktor kebetulan yang berubah menjadi sejumlah-besar langkah kecil melalui waktu berabad-abad akan sanggup menghasilkan mukjizat-mukjizat seperti dinosaurus dan diri kita sendiri.”

Namun Arthur Peacock menafsirkan evolusi itu secara teistik ketika ia menyebutkan “Saya kira teori evolusi telah mengartikulasikan, membongkar, dan menjelaskan kepada kita bagaimana Tuhan menciptakan berbagai bentuk kehidupan."

Sumber: *

IPTEK (Sains) Versus Spiritualitas (3)

Benar apa yang dikatakan oleh fisikawan Iran Mehdi Golshani bahwa teorema Gödel memiliki implikasi penting bagi sains-sains fisika yang di dalamnya matematika memainkan peran mendasar. Jadi, untuk menjelaskan sains dan keberhasilannya, orang harus melangkah keluar dari batas-batas sains. Tidakkah kita dapat memahaminya bahwa apa yang disebut “natural” dan “supranatural” sebagai dua sisi dari realitas yang sama; bahwa mendekati Alam Semesta dapat dilakukan dari dua sisi yang “kelihatannyaberlawanan seperti yang dipahami oleh Hawking dan Dawkins. Agaknya, kedua ilmuwan itu tak bisa melepaskan diri dari konsepsi materialistik yang sudah tertanam dalam benak ketika berupaya memahami sebuah fakta. Hawking, yang bergulat dalam kosmologi, menguatkan argumennya itu lewat kesimpulannya atas model Dentuman Besar (Big Bang). Penciptaan alam semesta, kata Hawking, tidak memerlukan intervensi sesuatu yang supernatural atau Tuhan. Semesta yang banyak ini muncul alamiah dari hukum fisika. “Semesta adalah prediksi sains,” tulis Hawking dalam The Grand Design. Dalam Dentuman Besar, tidak ada awal yang temporal bagi alam semesta.

IPTEK (Sains) Versus Spiritualitas? (2)

Namun, benarkah sedemikian keras pertentangan itu? Tidakkah kita dapat melihatnya sebagai dua sisi yang saling melengkapi (komplementer), sehingga membentuk pemahaman yang menyeluruh? Kita, lelaki dan perempuan, adalah manusia komplementer. Bahkan, di dalam diri kita, kedua unsur itu ada. John Gray, dengan bukunya Men are from Mars, Women are from Venus, membangun kita untuk memahami perbedaan itu sebagai unsur yang saling melengkapi dan membangun harmoni.

Dualitas yang bersifat komplementer adalah pilihan lain dalam isu sains dan agama. Dualitas yang saling melengkapi ditunjukkan oleh watak cahaya sebagai partikel dan sebagai gelombang. Untuk mengatasi apa yang tampak absurd itu, fisikawan Niels Bohr memperkenalkan pengertian ‘komplementer’. Ia memandang gambaran partikel dan gambaran gelombang sebagai diskripsi komplementer atas realitas yang sama. Tidak ada yang satu salah dan yang lain benar.

Teorema Gödel juga menunjukkan bahwa kita perlu mengembangkan ‘science of reason‘ yang menerima paradoks dan kontradiksi-diri sebagai watak inheren dari Alam Semesta. Menurut teorema Gödel, untuk menunjukkan konsistensi sebuah sistem aksiomatik, yang didasarkan pada matematika, kita harus melangkah keluar dari batas-batas sistem tersebut.

IPTEK (Sains) Versus Spiritualitas? (1)

Tatkala buku The Grand Design terbit, sekitar 3 tahun yang silam, sambutan publik tidak semeriah ketika The Brief History of Time dipublikasikan. Kendati begitu, Stephen Hawking, penulisnya, tak kurang piawai dalam menyemarakkan kemunculan The Grand Design di muka umum. Guru Besar Matematika di Cambridge University itu mengeluarkan pernyataan yang memancing kembali diskusi soal relasi di antara sains dan agama. Katanya: “Ada perbedaan fundamental antara agama yang didasarkan atas otoritas dan sains yang didasarkan atas observasi dan nalar.”

Dalam bukunya, Hawking menulis: “Karena adanya hukum seperti gravitasi, tata surya dapat dan akan membentuk dirinya sendiri. Penciptaan spontan adalah alasannya mengapa sekarang ada ‘sesuatu’ dan bukannya kehampaan, mengapa alam semesta ada dan kita ada. Tidak perlu memohon kepada Tuhan untuk memulai segalanya dan menggerakkan alam semesta.” Ia bahkan berujar: “Sains akan menang.”

Sebagaimana Hawking, ilmuwan Inggris lainnya, Richard Dawkins, juga menampik kehadiran Sang Pencipta dengan beranjak dari titik berangkat yang sama: sains didasarkan atas bukti yang dapat diverifikasi, sedangkan keyakinan agama bukan hanya tidak punya bukti, tapi bahkan kemandiriannya dari bukti adalah kebanggaan dan kesenangannya. Biolog-evolusioner ini meyakini bahwa evolusi—yang ia sebut sebagai “sang desainer buta”—menggunakan trial and error secara kumulatif untuk bisa mencari ruang yang luas dari struktur-struktur yang mungkin.

Kedua ilmuwan itu beranggapan bahwa ketidakcocokan sains dan agama dikarenakan oleh perbedaan tajam epistemologi yang melatari keduanya. Sains merupakan studi sistematis atas observasi terhadap alam dengan indera manusia dan bantuan instrumen saintifik. Agama, di lain pihak, mengajarkan bahwa manusia memiliki ‘indera dalam’ yang memungkinkan manusia mengakses realitas transenden (spiritual) yang melampaui dunia yang kasat mata.

Berlawanankah keduanya? Sebagian ilmuwan berpendapat, keduanya tak bisa diakurkan. Karena itu, fisikawan Victor Stenger heran apabila ada ilmuwan yang sanggup menerima keduanya secara bersamaan. Masing-masing bagian otak, kata Stenger, mestinya tak mungkin menerima dua hal yang bertentangan sekaligus.


Sumber
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
//** Like Button FB **//
//** Like Button FB **//