Jakarta - Prestasi harum kembali ditorehkan pelajar Indonesia di dunia internasional. Kali ini para pelajar Indonesia berhasil merebut 1 emas dan 3 perak di olimpiade biologi internasional di Bern, Swiss.
Dalam rilis yang diterima detikcom dari Kedutaan Besar Swiss, Minggu (21/7/2013), adalah Rhogerry Deshyka dari SMA Pribadi Bandung yang berhasil merebut medali emas di olimpiade Biologi yang digelar pada 14-21 Juli 2013 itu.
Sedangkan tiga rekannya yang lain, yaitu Muhammad Farhan Maruli (SMAN 78 Jakarta, Kezia Stevanie Tanfriana (SMAK BPK Penabur Gading Serpong) dan Titis Setiyohadi (SMA GBBS Gemolong, Sragen) masing-masing berhasil merebut medali perak.
Tampilkan postingan dengan label Olimpiade. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Olimpiade. Tampilkan semua postingan
Minggu, 21 Juli 2013
Indonesia Sabet Emas dan Perak di Ajang Olimpiade Biologi Internasional
Label:
Ajang,
Albert Einstein,
Bern,
Biologi,
Djoko Susilo,
emas,
Indonesia,
internasional,
Kezia Stevanie Tanfriana,
Muhammad Farhan Maruli,
Olimpiade,
perak,
Rhogerry Deshyka,
Sabet,
Swiss,
Titis Setiyohadi
Rabu, 17 April 2013
Mencari Jejak Prestasi Tim Nasional Indonesia
Sepak bola merupakan olahraga paling populer di negara ini. tetapi apakah kegilaan suporter sudah sebanding dengan prestasi tim nasional selama ini?
Mungkin ini pertanyaan akan selalu menggelitik lantaran jawabannya adalah, berbanding terbalik. Suporter melakukan segala daya dan upaya untuk mendukung Garuda, namun sang pujaan justru belum memberikan hasil maksimal. Sejak tahun 1991, timnas belum pernah memenangkan kejuaraan, seperti Piala AFF dan medali emas SEA Games.
Bagaimanapun, timnas tetap menjadi kebanggaan bangsa. Dalam suasana menyambut ulang tahun Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang ke-83 tahun tanggal 19 April 2013 nanti, tidak ada salahnya kita mengingat apa yang pernah dicapai oleh timnas selama negeri ini merdeka.
Tentunya Piala Dunia 1938 tidak masuk dalam hitungan karena itu merupakan timnas Hindia Belanda, bukan Indonesia.
Setelah Proklamasi Indonesia, PSSI membentuk tim nasional yang mewakili nama Indonesia di pentas internasional. Seperti halnya politik, era 1950 dianggap sebagai the golden-fifties. Timnas untuk pertama kalinya berlaga di Olimpiade Melbourne 1956. Tidak ada raihan medali, tapi cerita yang selalu dikisahkan adalah tentang aksi heroik timnas yang berhasil menahan imbang Uni Soviet tanpa gol. Pemain terus berlari sepanjang pertandingan, sampai-sampai ketika permainan berakhir, banyak pemain yang membutuhkan bantuan oksigen. Sayangnya, dalam pertandingan ulangan keesokan harinya, gawang Maulwi Saelan dibobol empat kali tanpa balas.
Kisah di tahun 1950-an belum berakhir. Cerita indah berlanjut ketika timnas mengikuti kualifikasi Piala Dunia Swedia 1958. Kita berhasil menyingkirkan Cina dan melangkah ke babak selanjutnya. Lawan yang harus dihadapi adalah Israel, dan di sinilah masalah mulai menghinggapi.
Karena kebijakan politik Indonesia waktu itu berada di pihak Palestina dan tidak mengakui keberadaan Israel, Indonesia kemudian menolak bertanding melawan Israel. Kebijakan tersebut otomatis membuat Indonesia terkena diskualifikasi dan harus melupakan mimpi bermain di Piala Dunia Swedia 1958. Yang tersisa dari sini adalah timnas nyaris ke Piala Dunia.
Timnas Pra-Piala Dunia Swedia ini dipertahankan untuk Asian Games 1962 yang dihelat di rumah sendiri, Jakarta. Optimisme tinggi menjelang Asian Games runtuh setelah beredar rumor “Skandal Senayan”. Punggawa timnas disuap oleh pihak ketiga. Timnas pun dibekukan.
Pada 1964, Menteri Olahraga, Maladi menunjuk Abdul Wahab Joyohadikusuma sebagai Ketua Umum PSSI. Perbaikan di tubuh PSSI dan sepak bola secara keseluruhan dilakukan. Timnas pun kembali dibentuk untuk mengikuti Aga Khan Cup 1966 di Pakistan. Karena tetap memutar kompetisi domestik, tidak sulit bagi PSSI untuk membangun timnas.
Endang Witarsa ditunjuk sebagai pelatih setelah dianggap berhasil mengantarkan Persija Jakarta sebagai juara kompetisi nasional 1964/1965. Tim Persija menjadi kerangka utama dan ditambah dengan beberapa pemain dari seluruh penjuru Indonesia demi menyempurnakan komposisi timnas. Dengan dibekali pemain dengan kemampuan bagus dan kombinasi strategi mumpuni, Indonesia akhirnya menjuarai Aga Khan Cup setelah menang 2-1 atas Dakka Sporting Club di final.
Berkat prestasinya itu, Endang Witarsa tetap dipertahankan sebagai pelatih timnas hingga satu dekade kemudian. Selama menukangi timnas Garuda, Endang Witarsa berhasil memberikan lima gelar internasional bagi Indonesia.
Endang Witarsa berhasil membawa Merah Putih menjuarai King’s Cup 1968, kejuaraan yang diselenggarakan oleh Raja Thailand untuk memperingati hari ulang tahunnya. Di final, Indonesia mengalahkan Myanmar 1-0. Gelar ketiga adalah saat menjuarai Anniversary Cup 1972 yang dihelat di Jakarta setelah berhasil mengandaskan perlawanan Korea Selatan 5-2 di final. Kemenangan 3-2 di Merdeka Games melawan tuan rumah Malaysia di final memberikan gelar keempat bagi Indonesia.
Tapi yang paling fenomenal adalah gelar kelima, saat mengikuti Pesta Sukan Singapura. Fenomenal karena terjadi All Indonesian Final di final Pesta Sukan antara PSSI A yang ditukangi oleh Endang Witarsa melawan PSSI B yang diarsiteki oleh EA Mangindaan, yang biasanya menjadi asisten Endang. Kemenangan akhirnya diperoleh PSSI A setelah menang 2-1. Rekor lima gelar yang dipersembahkan timnas dibawah era Endang Witarsa ini hingga kini belum bisa disamai oleh satu pun pelatih Indonesia.
Setelah era Endang Witarsa, timnas Pra-Piala Dunia 1978 asuhan Tony Pogacnik sempat mencuri perhatian besar dari masyarakat setelah bermain meyakinkan ketika beruji coba internasional melawan tim dari Eropa dan Amerika Latin. Sayang optimisme yang berlebihan justru menjadi bumerang di turnamen yang sesungguhnya. Melakoni babak penyisihan di Singapura, timnas justru keok 1-4 dari Hongkong dan 2-3 dari Thailand. Hanya mampu bermain imbang tanpa gol dengan Malaysia dan cuma mampu meraih kemenangan dari Singapura dengan skor 4 -0, timnas pun gagal melangkah ke babak selanjutnya.
Timnas Pra-Piala Dunia 1985 untuk Meksiko 1986 yang diarsiteki Sinyo Aliandoe dan bermaterikan pemain seperti Bambang Nurdiansyah, Rully Neere, Herry Kiswanto, Warta Kusuma dan kawan-kawan bisa membanggakan Indonesia setelah menjuarai Subgrup IIIB Asia Timur. Kita waktu itu mengandaskan perlawanan Thailand, India, dan Bangladesh. Namun, langkah kita akhirnya terhenti di final Grup III setelah kalah 0-2 dan 1-4 dari Korea Selatan.
Setelah kegagalan tersebut, timnas mengalami perombakan meski tak cukup signifikan. Perubahan terbesar di tubuh timnas adalah diangkatnya Bartje Matulapelwa sebagai pelatih kepala timnas Garuda. Hasilnya? Secara mengejutkan timnas berhasil masuk ke babak semifinal Asian Games 1986. Penampilan menawan timnas di bawah Bartje Matulapelwa berhasil dipertahankan dan mencapai puncak permainan setahun setelah gelaran Asian Games.
Kita juga berhasil meraih juara di ajang Piala Kemerdekaan 1987 dan berhasil meraih medali emas di ajang SEA Games di tahun yang sama saat diadakan di Jakarta. Di era Bartje Matulapelwa ini ada sederet bintang yang patut dikenang, seperti Ricky Yakobi, Ribut Waidi, Nasrul Koto, hingga Budi Wahyono.
Satu medali emas lagi yang pernah kita raih adalah saat SEA Games Manila 1991. Pelatih timnas kala itu Anatoly Polosin menerapkan pola latihan fisik keras. Banyak pemain yang kepayahan mengikuti porsi latihannya. Namun saat turnamen, timnas bisa mengungguli semua lawan lantaran punya fisik yang jauh lebih prima dari lawan-lawannya.
Sejauh ini Indonesia baru mendapatkan tujuh gelar internasional (sebenarnya sembilan jika kemenangan di Piala Kemerdekaan 1987 dan 2008 dimasukkan) dan lima di antaranya dipersembahkan oleh era 1960-an hingga awal 1970-an.
Dengan kata lain, setelah era keemasan itu sepak bola Indonesia mengalami kemerosotan prestasi.
Prestasi Tim Nasional di Ajang Resmi
No. Tahun Prestasi
1. 1958 Medali Perunggu Asian Games Tokyo 1956
2. 1979 Medali Perak Sea Games
3. 1981 Medali Perunggu Sea Games
4. 1987 Medali Emas Sea Games
5. 1989 Medali Perunggu Sea Games
6. 1991 Medali Emas Sea Games
7. 1996 Babak I Piala Asia
8. 1997 Medali Perak Sea Games
9. 1998 Peringkat Ketiga Piala AFF (Piala Tiger)
10. 1999 Medali Perunggu Sea Games
11. 2000 Runner up Piala AFF (Piala Tiger)
12. 2000 Babak I Piala Asia
13. 2002 Runner up Piala Tiger
14. 2004 Runner up Piala Tiger
15. 2004 Babak I Piala Asia
16. 2007 Babak I Piala AFF (Piala Tiger)
17. 2007 Babak I Piala Asia
18. 2008 Semifinalis Piala AFF
19. 2009 Babak I Sea Games
20. 2010 Runner up Piala AFF
21. 2011 Medali Perak Sea Games
22. 2012 Babak I Piala AFF
Sumber: *
Mungkin ini pertanyaan akan selalu menggelitik lantaran jawabannya adalah, berbanding terbalik. Suporter melakukan segala daya dan upaya untuk mendukung Garuda, namun sang pujaan justru belum memberikan hasil maksimal. Sejak tahun 1991, timnas belum pernah memenangkan kejuaraan, seperti Piala AFF dan medali emas SEA Games.
Bagaimanapun, timnas tetap menjadi kebanggaan bangsa. Dalam suasana menyambut ulang tahun Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang ke-83 tahun tanggal 19 April 2013 nanti, tidak ada salahnya kita mengingat apa yang pernah dicapai oleh timnas selama negeri ini merdeka.
Tentunya Piala Dunia 1938 tidak masuk dalam hitungan karena itu merupakan timnas Hindia Belanda, bukan Indonesia.
Setelah Proklamasi Indonesia, PSSI membentuk tim nasional yang mewakili nama Indonesia di pentas internasional. Seperti halnya politik, era 1950 dianggap sebagai the golden-fifties. Timnas untuk pertama kalinya berlaga di Olimpiade Melbourne 1956. Tidak ada raihan medali, tapi cerita yang selalu dikisahkan adalah tentang aksi heroik timnas yang berhasil menahan imbang Uni Soviet tanpa gol. Pemain terus berlari sepanjang pertandingan, sampai-sampai ketika permainan berakhir, banyak pemain yang membutuhkan bantuan oksigen. Sayangnya, dalam pertandingan ulangan keesokan harinya, gawang Maulwi Saelan dibobol empat kali tanpa balas.
Kisah di tahun 1950-an belum berakhir. Cerita indah berlanjut ketika timnas mengikuti kualifikasi Piala Dunia Swedia 1958. Kita berhasil menyingkirkan Cina dan melangkah ke babak selanjutnya. Lawan yang harus dihadapi adalah Israel, dan di sinilah masalah mulai menghinggapi.
Karena kebijakan politik Indonesia waktu itu berada di pihak Palestina dan tidak mengakui keberadaan Israel, Indonesia kemudian menolak bertanding melawan Israel. Kebijakan tersebut otomatis membuat Indonesia terkena diskualifikasi dan harus melupakan mimpi bermain di Piala Dunia Swedia 1958. Yang tersisa dari sini adalah timnas nyaris ke Piala Dunia.
Timnas Pra-Piala Dunia Swedia ini dipertahankan untuk Asian Games 1962 yang dihelat di rumah sendiri, Jakarta. Optimisme tinggi menjelang Asian Games runtuh setelah beredar rumor “Skandal Senayan”. Punggawa timnas disuap oleh pihak ketiga. Timnas pun dibekukan.
Pada 1964, Menteri Olahraga, Maladi menunjuk Abdul Wahab Joyohadikusuma sebagai Ketua Umum PSSI. Perbaikan di tubuh PSSI dan sepak bola secara keseluruhan dilakukan. Timnas pun kembali dibentuk untuk mengikuti Aga Khan Cup 1966 di Pakistan. Karena tetap memutar kompetisi domestik, tidak sulit bagi PSSI untuk membangun timnas.
Endang Witarsa ditunjuk sebagai pelatih setelah dianggap berhasil mengantarkan Persija Jakarta sebagai juara kompetisi nasional 1964/1965. Tim Persija menjadi kerangka utama dan ditambah dengan beberapa pemain dari seluruh penjuru Indonesia demi menyempurnakan komposisi timnas. Dengan dibekali pemain dengan kemampuan bagus dan kombinasi strategi mumpuni, Indonesia akhirnya menjuarai Aga Khan Cup setelah menang 2-1 atas Dakka Sporting Club di final.
Berkat prestasinya itu, Endang Witarsa tetap dipertahankan sebagai pelatih timnas hingga satu dekade kemudian. Selama menukangi timnas Garuda, Endang Witarsa berhasil memberikan lima gelar internasional bagi Indonesia.
Endang Witarsa berhasil membawa Merah Putih menjuarai King’s Cup 1968, kejuaraan yang diselenggarakan oleh Raja Thailand untuk memperingati hari ulang tahunnya. Di final, Indonesia mengalahkan Myanmar 1-0. Gelar ketiga adalah saat menjuarai Anniversary Cup 1972 yang dihelat di Jakarta setelah berhasil mengandaskan perlawanan Korea Selatan 5-2 di final. Kemenangan 3-2 di Merdeka Games melawan tuan rumah Malaysia di final memberikan gelar keempat bagi Indonesia.
Tapi yang paling fenomenal adalah gelar kelima, saat mengikuti Pesta Sukan Singapura. Fenomenal karena terjadi All Indonesian Final di final Pesta Sukan antara PSSI A yang ditukangi oleh Endang Witarsa melawan PSSI B yang diarsiteki oleh EA Mangindaan, yang biasanya menjadi asisten Endang. Kemenangan akhirnya diperoleh PSSI A setelah menang 2-1. Rekor lima gelar yang dipersembahkan timnas dibawah era Endang Witarsa ini hingga kini belum bisa disamai oleh satu pun pelatih Indonesia.
Setelah era Endang Witarsa, timnas Pra-Piala Dunia 1978 asuhan Tony Pogacnik sempat mencuri perhatian besar dari masyarakat setelah bermain meyakinkan ketika beruji coba internasional melawan tim dari Eropa dan Amerika Latin. Sayang optimisme yang berlebihan justru menjadi bumerang di turnamen yang sesungguhnya. Melakoni babak penyisihan di Singapura, timnas justru keok 1-4 dari Hongkong dan 2-3 dari Thailand. Hanya mampu bermain imbang tanpa gol dengan Malaysia dan cuma mampu meraih kemenangan dari Singapura dengan skor 4 -0, timnas pun gagal melangkah ke babak selanjutnya.
Timnas Pra-Piala Dunia 1985 untuk Meksiko 1986 yang diarsiteki Sinyo Aliandoe dan bermaterikan pemain seperti Bambang Nurdiansyah, Rully Neere, Herry Kiswanto, Warta Kusuma dan kawan-kawan bisa membanggakan Indonesia setelah menjuarai Subgrup IIIB Asia Timur. Kita waktu itu mengandaskan perlawanan Thailand, India, dan Bangladesh. Namun, langkah kita akhirnya terhenti di final Grup III setelah kalah 0-2 dan 1-4 dari Korea Selatan.
Setelah kegagalan tersebut, timnas mengalami perombakan meski tak cukup signifikan. Perubahan terbesar di tubuh timnas adalah diangkatnya Bartje Matulapelwa sebagai pelatih kepala timnas Garuda. Hasilnya? Secara mengejutkan timnas berhasil masuk ke babak semifinal Asian Games 1986. Penampilan menawan timnas di bawah Bartje Matulapelwa berhasil dipertahankan dan mencapai puncak permainan setahun setelah gelaran Asian Games.
Kita juga berhasil meraih juara di ajang Piala Kemerdekaan 1987 dan berhasil meraih medali emas di ajang SEA Games di tahun yang sama saat diadakan di Jakarta. Di era Bartje Matulapelwa ini ada sederet bintang yang patut dikenang, seperti Ricky Yakobi, Ribut Waidi, Nasrul Koto, hingga Budi Wahyono.
Satu medali emas lagi yang pernah kita raih adalah saat SEA Games Manila 1991. Pelatih timnas kala itu Anatoly Polosin menerapkan pola latihan fisik keras. Banyak pemain yang kepayahan mengikuti porsi latihannya. Namun saat turnamen, timnas bisa mengungguli semua lawan lantaran punya fisik yang jauh lebih prima dari lawan-lawannya.
Sejauh ini Indonesia baru mendapatkan tujuh gelar internasional (sebenarnya sembilan jika kemenangan di Piala Kemerdekaan 1987 dan 2008 dimasukkan) dan lima di antaranya dipersembahkan oleh era 1960-an hingga awal 1970-an.
Dengan kata lain, setelah era keemasan itu sepak bola Indonesia mengalami kemerosotan prestasi.
Prestasi Tim Nasional di Ajang Resmi
No. Tahun Prestasi
1. 1958 Medali Perunggu Asian Games Tokyo 1956
2. 1979 Medali Perak Sea Games
3. 1981 Medali Perunggu Sea Games
4. 1987 Medali Emas Sea Games
5. 1989 Medali Perunggu Sea Games
6. 1991 Medali Emas Sea Games
7. 1996 Babak I Piala Asia
8. 1997 Medali Perak Sea Games
9. 1998 Peringkat Ketiga Piala AFF (Piala Tiger)
10. 1999 Medali Perunggu Sea Games
11. 2000 Runner up Piala AFF (Piala Tiger)
12. 2000 Babak I Piala Asia
13. 2002 Runner up Piala Tiger
14. 2004 Runner up Piala Tiger
15. 2004 Babak I Piala Asia
16. 2007 Babak I Piala AFF (Piala Tiger)
17. 2007 Babak I Piala Asia
18. 2008 Semifinalis Piala AFF
19. 2009 Babak I Sea Games
20. 2010 Runner up Piala AFF
21. 2011 Medali Perak Sea Games
22. 2012 Babak I Piala AFF
Sumber: *
Label:
1956,
1958,
1991,
Cina,
Garuda,
heroik,
Israel,
kegilaan,
Maulwi Saelan,
Melbourne,
Olimpiade,
Palestina,
Piala Dunia,
prestasi,
PSSI,
sepakbola,
suporter,
Swedia,
the golden-fifties,
Uni Soviet
Kamis, 02 Agustus 2012
Atlet angkat besi, Triyatno, kembali mengukir prestasi di kancah olimpiade
Saat tampil di Olimpiade London 2012, lifter asal Lampung ini mempersembahkan medali perak. Sebelumnya, dia sudah menyumbangkan medali perunggu saat berlaga di Olimpiade Beijing 2008.
Turun di kelas 69 kilogram, Triyatno mampu mengalahkan para pesaingnya ketika bertanding di gedung Excel, London, Selasa malam, 31 Juli 2012. Ia berhasil melakukan angkatan snatch 145 kilogram dan clean and jerk 188 kilogram. Angkatan totalnya adalah 333 kilogram. Kemenangan ini tak lepas dari strategi jitu sang pelatih, Lukman.
Triyatno unggul tipis atas lifter Rumania, Martin Constantin, yang hanya mampu melakukan angkatan total 332 kilogram. Di lain pihak, medali emas menjadi milik lifter asal Cina, Lin Qingfeng, dengan angkatan total 334 kilogram.
"Saya senang dan bangga bisa mempersembahkan medali perak buat Indonesia. Perasaan saya sangat senang," kata Triyatno di sela-sela melakukan tes doping didampingi pelatihnya.
Triyatno, 24 tahun, berbagi kunci kemenangannya. "Ini berkat dukungan pelatih, terutama strategi untuk melakukan angkatan clean and jerk yang lebih berat serta dukungan dari para penonton dari Indonesia," ujarnya. Ketika bertanding, Triyatno ditunggui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Ketua Olimpiade Indonesia Rita Subowo.
Lukman blakblakan menjelaskan strateginya. Pada saat lifter asal Korea Utara, Kim Myong Hyok, gagal melakukan angkatan clean and jerk 186 kilogram dan 187 kilogram, posisi Triyatno sebenarnya sudah aman untuk meraih perunggu. Melihat itu, dia menyuruh Triyatno menambah beban 1 kilogram untuk melewatu total angkatan lifter Romania. Strategi ini berhasil. "Dia akhirnya bisa memperoleh perak," ujar Lukman.
Dengan tambahan medali perak sumbangan Triyatno, kontingen Indonesia saat ini menggoleksi satu perak dan satu perunggu. Sebelumnya, atlet angkat besi Eko Yuli Irawan yang turun di kelas 62 kilogram telah meraih perunggu. (Baca: Eko Yuli Irawan Sumbang Medali Perdana Indonesia)
Cabang angkat besi dalam delapan tahun terakhir selalu menyumbang medali di olimpiade. Pada Olimpiade Athena 2004, lifter perempuan Raema Lefi Rumbewas yang turun di kelas 53 kilogram menyumbangkan medali perak. Kemudian, Olimpiade Beijing 2008, Eko Yuli dan Triyatno, masing-masing menyumbangkan medali perunggu.
Ketua tim delegasi Olimpiade Indonesia, Erick Thohir, memuji prestasi cabang angkat besi di ajang Olimpiade 2012. "Ini prestasi luar biasa bagi tim angkat bisa yang mempunyai komitmen kuat dan saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada mereka," ujar Erick ketika dihubungi secara terpisah.
Kontingen Indonesia masih berpeluang menambah perolehan medali melalui cabang bulu tangkis. Selama ini olah raga tepok bulu selalu menyumbang medali emas sejak Olimpiade Barcelona 1992 hingga Olimpiade Beijing 2008. Apakah tradisi emas olimpiade masih bisa dipertahankan pada pesta olah raga di London 2012?
Turun di kelas 69 kilogram, Triyatno mampu mengalahkan para pesaingnya ketika bertanding di gedung Excel, London, Selasa malam, 31 Juli 2012. Ia berhasil melakukan angkatan snatch 145 kilogram dan clean and jerk 188 kilogram. Angkatan totalnya adalah 333 kilogram. Kemenangan ini tak lepas dari strategi jitu sang pelatih, Lukman.
Triyatno unggul tipis atas lifter Rumania, Martin Constantin, yang hanya mampu melakukan angkatan total 332 kilogram. Di lain pihak, medali emas menjadi milik lifter asal Cina, Lin Qingfeng, dengan angkatan total 334 kilogram.
"Saya senang dan bangga bisa mempersembahkan medali perak buat Indonesia. Perasaan saya sangat senang," kata Triyatno di sela-sela melakukan tes doping didampingi pelatihnya.
Triyatno, 24 tahun, berbagi kunci kemenangannya. "Ini berkat dukungan pelatih, terutama strategi untuk melakukan angkatan clean and jerk yang lebih berat serta dukungan dari para penonton dari Indonesia," ujarnya. Ketika bertanding, Triyatno ditunggui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Ketua Olimpiade Indonesia Rita Subowo.
Lukman blakblakan menjelaskan strateginya. Pada saat lifter asal Korea Utara, Kim Myong Hyok, gagal melakukan angkatan clean and jerk 186 kilogram dan 187 kilogram, posisi Triyatno sebenarnya sudah aman untuk meraih perunggu. Melihat itu, dia menyuruh Triyatno menambah beban 1 kilogram untuk melewatu total angkatan lifter Romania. Strategi ini berhasil. "Dia akhirnya bisa memperoleh perak," ujar Lukman.
Dengan tambahan medali perak sumbangan Triyatno, kontingen Indonesia saat ini menggoleksi satu perak dan satu perunggu. Sebelumnya, atlet angkat besi Eko Yuli Irawan yang turun di kelas 62 kilogram telah meraih perunggu. (Baca: Eko Yuli Irawan Sumbang Medali Perdana Indonesia)
Cabang angkat besi dalam delapan tahun terakhir selalu menyumbang medali di olimpiade. Pada Olimpiade Athena 2004, lifter perempuan Raema Lefi Rumbewas yang turun di kelas 53 kilogram menyumbangkan medali perak. Kemudian, Olimpiade Beijing 2008, Eko Yuli dan Triyatno, masing-masing menyumbangkan medali perunggu.
Ketua tim delegasi Olimpiade Indonesia, Erick Thohir, memuji prestasi cabang angkat besi di ajang Olimpiade 2012. "Ini prestasi luar biasa bagi tim angkat bisa yang mempunyai komitmen kuat dan saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada mereka," ujar Erick ketika dihubungi secara terpisah.
Kontingen Indonesia masih berpeluang menambah perolehan medali melalui cabang bulu tangkis. Selama ini olah raga tepok bulu selalu menyumbang medali emas sejak Olimpiade Barcelona 1992 hingga Olimpiade Beijing 2008. Apakah tradisi emas olimpiade masih bisa dipertahankan pada pesta olah raga di London 2012?
Label:
2012,
31 Juli 2012,
69 kg,
angkat besi,
clean and jerk 188 kg,
Excel,
Lampung,
lifter,
Lin Qingfeng,
London,
Martin Constantin,
medali,
Olimpiade,
perak,
prestasi,
Selasa,
snatch145 kg,
total 333 kg,
Triyatno
Langganan:
Postingan (Atom)