Sepinya masyarakat yang mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di Jawa Tengah dinilainya karena masyarakat semakin cerdas. Politik tidak pernah sehat dan orang lebih memilih hidup sendiri dan malas ikut membangun negara melalui partai politik atau birokrasi.
''Masyarakat lebih memilih ikut membangun negara secara independen. Bosan dengan seringnya dibuat muter-muter partai. Lha mau membangun negara kok lewat partai dan muter-muter dahulu sebagai tuntutan Amerika dengan demokrasi kapitalis liberalnya yang dimainkan oleh oknum yang tidak jujur,'' tutur Ketua Yayasan Obor Tani itu.
Apalagi, kata dia, konstalasi politik tawar menawar dan tidak bekerja secara langsung untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, diharapkan segera berakhir.
Politik akal-akalan seperti mendaftar di KPU dengan waktu yang mepet dilakukan untuk mengganjal kanan dan kiri rival politiknya.
''Lucunya, soal pencalonan gubernur dengan dana Rp 200 miliar pun diumumkan dan menjadi headline di sejumlah media. Lha wong mau bantu rakyat kok diumumke biayanya. Mereka tentu akan pinjam uang kesana kemari, setelah jadi tentu harus mengembalikan, caranya, lebih banyak dengan korupsi. Kalau bagi saya, Rp 200 miliar itu bisa untuk membuka kebun dan mensejahterakan masyarakat dengan bersama-sama mengelolanya,'' paparnya.