Jakarta - Nama Vanny Rossyane sebagai whistle blower mencuat sejak mengungkapkan kondisi Lembaga Pemasyarakatan Narkotik Cipinang. Mantan kekasih Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba, ini mengaku kepada publik perihal aktivitas pribadinya bersama Freddy. Terungkap bahwa Vanny bersama Freddy dapat leluasa menggunakan ruangan di LP Cipinang untuk bercinta dan pesta sabu.
Ketika ditanya perihal pernyataannya itu, Vanny mengaku tak merasa gentar. "Saya tak peduli, Pak Denny Wamen (Denny Indrayana) yang back up saya," ujarnya dalam pesan pendek kepada Tempo, Selasa, 30 Juli 2013. Dalam pesan sebelumnya ketika tim Tempo ingin menemui dirinya, Vanny mengaku sedang bersama ajudan Denny Indrayana.
Akibat pernyataan Vanny itu, Kepala LP Narkotik Cipinang Thurman Hutapea dicopot jabatannya. Pencopotan jabatan tersebut atas inisiasi dari Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Selanjutnya *
Tampilkan postingan dengan label whistle blower. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label whistle blower. Tampilkan semua postingan
Minggu, 04 Agustus 2013
Sesumbar, Vanny Rossyane Didukung Denny Indrayana
Label:
ajudan,
back up,
bercinta,
Cipinang,
Denny Indrayana,
Didukung,
Freddy Budiman,
leluasa,
LP,
Narkotik,
pesta sabu,
Sesumbar,
terpidana mati,
Thurman Hutapea,
VANNY ROSSYANE,
whistle blower
Minggu, 17 Maret 2013
Ini Bedanya Whistle Blower dengan Justice Collaborator
Masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara Whistle Blower dan Justice Collaborator. Sebagian orang beranggapan kalau dua istilah ini memiliki pengertian yang sama, sementara beberapa orang lagi terkadang menjadi salah interpretasi mengenai dua pengertian ini.
"Whistle Blower itu orang yang tidak terlibat dalam kasus itu. Kalau Justice Collaborator adalah orang yang ada dalam kesalahan itu dan dia akan mengungkap itu. Kalau di Amerika ada play bargainnya (dan tuntutannya nanti diperingan)," jelas Hakim Agung Artidjo Alkotsar yang hadir sebagai pembicara pada lokakarya 'Sistem Peradilan, Istilah Hukum, Justice Collaborator' di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat, Minggu (17/3/2013).
Salah satu contoh kesalahpahaman dalam menelaah pengertian ini ada pada kasus Ketum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, ketika beberapa pengamat hukum dan masyarakat memberi label 'justice collaborator' kepadanya. Padahal untuk dapat disebut justice collaborator, seseorang harus mendapat izin dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Terkadang persepsi publik bisa beri interpretasi seperti itu, tapi yang bisa menentukan orang itu justice collaborator adalah LPSK," jelas mantan direktur LBH Yogyakarta tersebut.
Akan tetapi, lanjut Artidjo, yang memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan hukuman berada di ranah Jaksa, yang sebelumnya harus mendapatkan verifikasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Ranahnya itu biasanya bukan di wilayah hakim, tapi di ranah jaksa," jelas Hakim Agung kelahiran Situbondo tersebut.
Salah satu contoh seorang justice collaborator yang harusnya diberikan keringanan hukuman adalah Agus Tjondro dalam kasus suap cek pelawat BI yang menjerat Miranda Goeltom pada 2004 lalu.
"Misalnya yang bisa diberikan keringanan hukum, seperti kepada kasus Agus Tjondro. Tapi, Agus Tjondro malah lebih berat. Saya kira baru diingat bahwa Agus Tjondro menjadi justice collaborator di remisinya," terangnya.
Sehingga, seorang Justice Collaborator dianggap harus mendapatkan keringanan hukum karena dianggap bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan.
"Jadi justice collaborator itu harus mendapat keringanan hukum, karena dia mengungkap kejahatan. Akan memudahkan, karena ada beberapa orang yang terlibat. Keterangannya kemudian akan diverifikasi di (LPSK). Jadi, kualifikasi untuk mendapat perlindungan itu ditentukan oleh LPSK," kata Artidjo.
Sumber: *
"Whistle Blower itu orang yang tidak terlibat dalam kasus itu. Kalau Justice Collaborator adalah orang yang ada dalam kesalahan itu dan dia akan mengungkap itu. Kalau di Amerika ada play bargainnya (dan tuntutannya nanti diperingan)," jelas Hakim Agung Artidjo Alkotsar yang hadir sebagai pembicara pada lokakarya 'Sistem Peradilan, Istilah Hukum, Justice Collaborator' di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat, Minggu (17/3/2013).
Salah satu contoh kesalahpahaman dalam menelaah pengertian ini ada pada kasus Ketum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, ketika beberapa pengamat hukum dan masyarakat memberi label 'justice collaborator' kepadanya. Padahal untuk dapat disebut justice collaborator, seseorang harus mendapat izin dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Terkadang persepsi publik bisa beri interpretasi seperti itu, tapi yang bisa menentukan orang itu justice collaborator adalah LPSK," jelas mantan direktur LBH Yogyakarta tersebut.
Akan tetapi, lanjut Artidjo, yang memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan hukuman berada di ranah Jaksa, yang sebelumnya harus mendapatkan verifikasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Ranahnya itu biasanya bukan di wilayah hakim, tapi di ranah jaksa," jelas Hakim Agung kelahiran Situbondo tersebut.
Salah satu contoh seorang justice collaborator yang harusnya diberikan keringanan hukuman adalah Agus Tjondro dalam kasus suap cek pelawat BI yang menjerat Miranda Goeltom pada 2004 lalu.
"Misalnya yang bisa diberikan keringanan hukum, seperti kepada kasus Agus Tjondro. Tapi, Agus Tjondro malah lebih berat. Saya kira baru diingat bahwa Agus Tjondro menjadi justice collaborator di remisinya," terangnya.
Sehingga, seorang Justice Collaborator dianggap harus mendapatkan keringanan hukum karena dianggap bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan.
"Jadi justice collaborator itu harus mendapat keringanan hukum, karena dia mengungkap kejahatan. Akan memudahkan, karena ada beberapa orang yang terlibat. Keterangannya kemudian akan diverifikasi di (LPSK). Jadi, kualifikasi untuk mendapat perlindungan itu ditentukan oleh LPSK," kata Artidjo.
Sumber: *
Label:
Agus Tjondro,
Anas Urbaningrum,
Artidjo Alkotsar,
beda,
Bogor,
Hakim Agung,
Jaksa,
justice collaborator,
kesalahpahaman,
LBH Yogyakarta,
lokakarya,
LPSK,
Novotel,
play bargain,
Situbondo,
whistle blower
Langganan:
Postingan (Atom)