Tampilkan postingan dengan label Jaksa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jaksa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 September 2013

Jaksa Selidiki Korupsi di Acara Anang-Ashanty

Jember-Tim penyidik Kejaksaan Negeri Jember mulai menyelidiki dugaan penyalahgunaan dana »Bulan Berkunjung ke Jember (BBJ)" pada 2012 lalu. Hambaliyanto, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Jember mengatakan penyelidikan itu sudah dilakukan sepekan terakhir. "Penyidik fokus pada anggaran senilai Rp 6,5 miliar dulu," kata dia, Selasa sore, 3 September 2013.

Hingga kini, kata dia, sudah 10 orang pejabat Pemerintah Kabupaten Jember diperiksa sebagai saksi. Mereka dimintai keterangan tentang penggunaan dana yang berasal dari APBD Jember tahun 2012 itu. "Mereka adalah orang-orang yang terlibat sebagai panitia dalam acara BBJ tahun 2012," katanya.

Namun Hambali tak bersedia menyebutkan siapa saja kesepuluh pejabat yang telah diperiksa itu. Dia juga tidak mau menjelaskan, mereka diperiksa terkait penggunaan dana untuk acara apa saja. "Laporan yang kami terima sementara total anggaran BBJ tahun 2012 Rp 6,5 miliar tapi yang digunakan hanya Rp 4,5 miliar," kata Hambaliyanto. Selanjutnya *

Minggu, 17 Maret 2013

Ini Bedanya Whistle Blower dengan Justice Collaborator

Masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara Whistle Blower dan Justice Collaborator. Sebagian orang beranggapan kalau dua istilah ini memiliki pengertian yang sama, sementara beberapa orang lagi terkadang menjadi salah interpretasi mengenai dua pengertian ini.

"Whistle Blower itu orang yang tidak terlibat dalam kasus itu. Kalau Justice Collaborator adalah orang yang ada dalam kesalahan itu dan dia akan mengungkap itu. Kalau di Amerika ada play bargainnya (dan tuntutannya nanti diperingan)," jelas Hakim Agung Artidjo Alkotsar yang hadir sebagai pembicara pada lokakarya 'Sistem Peradilan, Istilah Hukum, Justice Collaborator' di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat, Minggu (17/3/2013).

Salah satu contoh kesalahpahaman dalam menelaah pengertian ini ada pada kasus Ketum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, ketika beberapa pengamat hukum dan masyarakat memberi label 'justice collaborator' kepadanya. Padahal untuk dapat disebut justice collaborator, seseorang harus mendapat izin dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Terkadang persepsi publik bisa beri interpretasi seperti itu, tapi yang bisa menentukan orang itu justice collaborator adalah LPSK," jelas mantan direktur LBH Yogyakarta tersebut.

Akan tetapi, lanjut Artidjo, yang memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan hukuman berada di ranah Jaksa, yang sebelumnya harus mendapatkan verifikasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Ranahnya itu biasanya bukan di wilayah hakim, tapi di ranah jaksa," jelas Hakim Agung kelahiran Situbondo tersebut.

Salah satu contoh seorang justice collaborator yang harusnya diberikan keringanan hukuman adalah Agus Tjondro dalam kasus suap cek pelawat BI yang menjerat Miranda Goeltom pada 2004 lalu.

"Misalnya yang bisa diberikan keringanan hukum, seperti kepada kasus Agus Tjondro. Tapi, Agus Tjondro malah lebih berat. Saya kira baru diingat bahwa Agus Tjondro menjadi justice collaborator di remisinya," terangnya.

Sehingga, seorang Justice Collaborator dianggap harus mendapatkan keringanan hukum karena dianggap bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan.

"Jadi justice collaborator itu harus mendapat keringanan hukum, karena dia mengungkap kejahatan. Akan memudahkan, karena ada beberapa orang yang terlibat. Keterangannya kemudian akan diverifikasi di (LPSK). Jadi, kualifikasi untuk mendapat perlindungan itu ditentukan oleh LPSK," kata Artidjo.

Sumber: *

Minggu, 23 Desember 2012

Jaksa: Penerimaan Angie Tidak Sesuai dengan Pendapatannya


Penerimaan terdakwa kasus suap pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Angelina Sondakh tidak sesuai dengan pendapatannya pada 2010. 
"Sebagai anggota DPR pada 2010, terdakwa menerima gaji, tunjangan kehormatan, uang rangkap jabatan dan lainnya, namun berdasarkan kesaksian Lindina Wulandari yang mengatur keuangan terdakwa ada setoran tunai ke rekening pada 2010 dengan jumlah seluruhnya Rp2,5 miliar padahal pendapatannya hanya Rp792 juta," kata jaksa penuntut umum Kiki Ahmad Yani dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis. 
Rinciannya, Lindina mengaku bahwa gaji Angie berjumlah Rp50 juta per bulan, padahal gaji Angie sebenarnya sebagai anggota DPR Komisi X dari fraksi Partai Demokrat menurut jaksa hanya sekitar Rp40 juta. 
Lebih lanjut, Angie dan Lindina menjelaskan bahwa sumber honor berasal dari honor reses Rp53 juta sebanyak empat kali, honor aspirasi Rp105 juta yang diterima empat kali, honor pengesahan Undang-undang, honor tim perumus dan lainnya. 
"Tapi berdasarkan bukti daftar honor di luar gaji dari Sekjen DPR, uang reses hanya Rp31 juta yang diterima pada Maret, Juni, Agustus, November dan Desember sedangkan uang aspirasi adalah Rp9 juta, bukan Rp105 juta dan hanya diberikan satu kali dalam 2010," ungkap jaksa. 
Jaksa juga mematahkan penjelasan Angie dan Lindina yang menyatakan bahwa Angie menerima honor dari show di televisi dan iklan, tapi dalam rekening koran Angie tidak ada pembayaran kegiatan tersebut dan hanya ada pembayaran beberapa kali ke rekening dengan besaran honor yang tidak sebesar yang disampaikan. 
"Misalnya dari acara `Insert 8th Anniversary` hanya mendapat sebesar Rp995 ribu, menjadi bintang tamu dalam acara `Hitam Putih` sebanyak Rp4,9 juta dan dari acara `Bukan 4 Mata` sebesar Rp1,4 juta, dan pembayarannya juga dilakukan pada 2011," ungkap jaksa. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
//** Like Button FB **//
//** Like Button FB **//