Tampilkan postingan dengan label justice collaborator. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label justice collaborator. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Juni 2013

Pertama di Indonesia! Pemakai Diampuni karena Ungkap Mafia Narkoba

Jakarta - Bagi pemakai narkoba, kini jangan takut mengungkap jaringan mafia narkotika. Sebab perbuatannya bisa diampuni dan hukumannya menjadi sangat ringan.

Seperti dalam berkas kasasi yang didapat detikcom, Rabu (19/6/2013), kasus ini menjerat Thomas Claudius Ali Junaidi (38). PNS Kabupaten Maumere, didudukan di kursi pesakitan karena melanggar pasal 114 ayat 1 UU No 35 /2009 tentang Narkotika dengan ancaman pidana minimal 5 tahun penjara!

Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Thomas dituntut 7 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar. Apabila Thomas tak mau membayar denda maka diganti 6 bulan kurungan.

Atas tuntutan ini, PN Maumere menjatuhkan pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Jika Thomas tak mau membayar diganti 3 bulan kurungan.

Lantas vonis ini dikuatkan di Pengadilan Tinggi Kupang. Merasa putusan ini tidak adil, Thomas lalu mengajukan kasasi dengan alasan Thomas dalam kasus tersebut sebenarnya justru menjadi Justice Collaborator.

"Karena saya yang awalnya diminta bantuan oleh para penyidik/Polri untuk membantu mengungkap jaringan narkoba di Maumere, dan oleh Polri saya dijanjikan tidak akan diproses hukum jika berhasil memberikan informasi jaringan narkoba," beber Thomas dalam memori kasasinya.

"Tapi nyatanya setelah jaringan terungkap, justru saya juga ikut diproses," sambung Thomas.

Atas alasan memori kasasi itu, majelis hakim kasasi yang terdiri dari Dr Artidjo Alkotsar, Prof Dr Surya Djaya dan Sri Murwahyuni menerima argumen Thomas. Putusan bernomor No.920 K/Pid.Sus/2013 ini mengadopsi konsep justice collaborator sesuai Surat Edaran MA No 4 Tahun 2011. Padahal ancaman minimal Pasal 114 ayat 1 UU Narkotika adalah 5 tahun dan minimal denda Rp 1 miliar.

"Membatalkan putusan banding. Mengadili sendiri, menjatuhkan pidana 1 tahun penjara. Hukuman ini tidak perlu dilakukan apabila dalam kurun 2 tahun tidak mengulanginya kembali," ucap majelis dalam sidang pada 28 Mei 2013 silam.

Minggu, 17 Maret 2013

Ini Bedanya Whistle Blower dengan Justice Collaborator

Masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara Whistle Blower dan Justice Collaborator. Sebagian orang beranggapan kalau dua istilah ini memiliki pengertian yang sama, sementara beberapa orang lagi terkadang menjadi salah interpretasi mengenai dua pengertian ini.

"Whistle Blower itu orang yang tidak terlibat dalam kasus itu. Kalau Justice Collaborator adalah orang yang ada dalam kesalahan itu dan dia akan mengungkap itu. Kalau di Amerika ada play bargainnya (dan tuntutannya nanti diperingan)," jelas Hakim Agung Artidjo Alkotsar yang hadir sebagai pembicara pada lokakarya 'Sistem Peradilan, Istilah Hukum, Justice Collaborator' di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat, Minggu (17/3/2013).

Salah satu contoh kesalahpahaman dalam menelaah pengertian ini ada pada kasus Ketum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, ketika beberapa pengamat hukum dan masyarakat memberi label 'justice collaborator' kepadanya. Padahal untuk dapat disebut justice collaborator, seseorang harus mendapat izin dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Terkadang persepsi publik bisa beri interpretasi seperti itu, tapi yang bisa menentukan orang itu justice collaborator adalah LPSK," jelas mantan direktur LBH Yogyakarta tersebut.

Akan tetapi, lanjut Artidjo, yang memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan hukuman berada di ranah Jaksa, yang sebelumnya harus mendapatkan verifikasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Ranahnya itu biasanya bukan di wilayah hakim, tapi di ranah jaksa," jelas Hakim Agung kelahiran Situbondo tersebut.

Salah satu contoh seorang justice collaborator yang harusnya diberikan keringanan hukuman adalah Agus Tjondro dalam kasus suap cek pelawat BI yang menjerat Miranda Goeltom pada 2004 lalu.

"Misalnya yang bisa diberikan keringanan hukum, seperti kepada kasus Agus Tjondro. Tapi, Agus Tjondro malah lebih berat. Saya kira baru diingat bahwa Agus Tjondro menjadi justice collaborator di remisinya," terangnya.

Sehingga, seorang Justice Collaborator dianggap harus mendapatkan keringanan hukum karena dianggap bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan.

"Jadi justice collaborator itu harus mendapat keringanan hukum, karena dia mengungkap kejahatan. Akan memudahkan, karena ada beberapa orang yang terlibat. Keterangannya kemudian akan diverifikasi di (LPSK). Jadi, kualifikasi untuk mendapat perlindungan itu ditentukan oleh LPSK," kata Artidjo.

Sumber: *
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
//** Like Button FB **//
//** Like Button FB **//