Tampilkan postingan dengan label UKM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UKM. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Juli 2013

Pedagang Kakilima dan Asongan Bebas Pajak UKM

Jakarta -- Menteri Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah Syarief Hasan mengatakan pedagang kakilima dan asongan tidak dikenai pajak UKM. "Itu tidak perlu," katanya di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta, Rabu, 3 Juli 2013.

Direktorat Jenderal Pajak mengenakan pajak untuk golongan pedagang mikro sebesar 1 persen mulai 1 Juli 2013. Besaran ini lebih kecil ketimbang aturan lama yang menetapkan pajak sebesar 15, 25, dan 35 persen. Hanya saja aturan lama itu dianggap tidak berjalan.

Syarief menilai penurunan besaran pajak menguntungkan bagi pedagang yang selama ini rutin membayar. Keuntungan itu adalah besaran pajak yang dibayarkan akan turun. "Pemerintah memberikan keringanan."

Pemberlakuan aturan baru bertujuan meningkatkan kesadaran membayar pajak. Pemerintah juga menjamin cara membayar pajak jenis ini tidak ribet. "Akan dimudahkan dalam pembukuan."

Syarief menilai pedagang yang rajin membayar pajak akan diberikan keuntungan, salah satunya, kemudahan mendapatkan kredit perbankan. "Saat butuh dana ke perbankan, tentu bank akan menyambut baik," ujarnya.

Menurut Syarief belum ada komunitas pedagang mikro dan kecil yang memprotes rencana pemberlakukan pajak UKM. Ia menilai ketiadaan protes itu karena aturan baru lebih meringankan pedagang. "Dibanding dulu, pasti lebih kecil," katanya.

Pengusaha Kecil di Solo Siap Tolak Pajak UKM

Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Solo siap menolak pemberlakuan pajak bagi usaha kecil menengah, yang resmi diberlakukan 1 Juli lalu. Mereka mengaku keberatan dengan sistem pungutan pajak yang didasarkan pada besaran omzet.

»Omzet tinggi belum tentu berlaba tinggi, terkadang juga malah merugi,” kata Nur Aini, seorang pedagang pakaian di Pasar Klewer, Surakarta, Rabu 3 Juli 2013.

Nur berpendapat, seharusnya pemerintah melakukan sebuah riset yang mendalam soal pengusaha kecil. Ia mengatakan, dasar dari penarikan pajak yang seharusnya bukan dari omzet melainkan dari keuntungan para pedagang. »Kalau berdasarkan omzet itu namanya tetap tidak adil,” katanya.

Penolakan soal pajak UKM juga datang dari Ita, seorang pelaku usaha warung makan di kawasan Sriwedari. Ia mengaku keberatan jika harus membayar pajak per bulan yang dikenakan kepadanya selaku pengusaha kecil. Sebab saat ini, warungnya sedang sepi, sedangkan harga kebutuhan pokok terus melonjak. »Belum lagi harga gas dan BBM ikut naik,” ujarnya.

Ita meminta pemerintah membatalkan penarikan pajak dari usaha kecil. Lebih baik, katanya, pemerintah memungut pajak dari usaha besar. Dalam sehari, omzetnya rata-rata Rp 600 ribu. Sehingga omzet sebulan Rp 18 juta dan pajak yang harus dibayar Rp 180 ribu. »Itu cukup berat buat pengusaha kecil,” katanya.

Kepala Bidang Pelayanan Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II, Basuki Rahmad mengatakan pemberlakukan pajak memang mengacu omzet. »Tak ada batas minimal omzet,” ujarnya. Sehingga pelaku UMKM yang misalnya hanya punya omzet Rp 10 juta per tahun, tetap kena pajak.

Contoh UMKM yang kena pajak yaitu usaha perdagangan yang punya tempat berjualan tetap seperti warung makan, kios pakaian, hingga kios di pasar tradisional. Sedangkan pelaku usaha yang tempatnya berjualan bongkar pasang seperti pedagang kaki lima, terbebas dari pajak.

Menurut Basuki, pajak dihitung per bulan sebesar 1 persen dari omzet bulanan. Misalnya pelaku UMKM punya omzet Rp 2 juta sebulan, maka membayar pajak Rp 20 ribu. Ia menyadari hingga kini belum banyak UMKM yang mengetahui aturan tersebut. Sebab pihaknya belum melakukan sosialisasi. Sebab peraturan teknis seperti cara membayar dan cara pelaporan belum ada aturannya.

Sabtu, 21 Juli 2012

”Itu keras ya, sangat keras,” kata Dahlan


Para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II memiliki tanggapan tersendiri atas pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meminta kepada menterinya untuk mundur jika terlalu sibuk berpolitik.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, mengatakan pernyataan SBY tersebut sangat keras. ”Itu keras ya, sangat keras,” kata Dahlan, usai Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, hari ini.
Nama Dahlan belakangan ini kerap disebut sebagai salah satu calon presiden potensial untuk dimajukan dalam Pemilihan Presiden 2014 mendatang. Namun Dahlan enggan berkomentar mengenai hal tersebut.
Ketika ditanya oleh wartawan apakah sudah mulai dipinang oleh partai politik dan jika ia merasa teguran tersebut ditujukan kepada dirinya, Dahlan langsung menghindar. ”Tidak kok, saya mau bekerja saja,” jawab dia, sembari berjalan cepat menjauhi wartawan.
Sementara itu, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Syariefuddin Hasan, setuju dengan pernyataan SBY itu, karena sebagai menteri memang memiliki pakta integritas. Bagi menteri yang berasal dari partai politik harus memiliki kesadaran untuk bisa membagi waktu.
Syarief, yang merupakan politisi Partai Demokrat, mengatakan pernyataan SBY tersebut tidak ditujukan secara khusus kepada orang tertentu. ”Beliau mengharapkan para menteri betul-betul bisa membagi waktu dan mengutamakan kepentingan pekerjaan sebagai menteri,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, mengatakan maksud dari pernyataan SBY adalah bagaimana para menteri yang berasal dari partai politik bisa mengelola waktunya dengan baik.
Wacik mencontohkan pada 2009 lalu, dia menjadi calon legislatif, dan memutuskan untuk mengambil cuti. ”Waktu itu boleh dikatakan 99 persen urusan negara, tugas sebagai menteri ya fine,” katanya.
Anggota Dewan Kehormatan Partai Demokrat ini mengatakan pernyataan SBY bisa juga ditujukan kepada menteri yang terlalu sibuk mengurusi partai.
”Misalnya ada menteri yang tidak bisa bagi waktu, kalau dicari tidak ada terus, ngurusin partai ya introspeksi diri lah,” kata Wacik, namun enggan menyebutkan siapa yang dimaksud.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
//** Like Button FB **//
//** Like Button FB **//