JAKARTA – Lebaran 2013 atau Idul Fitri 1434 Hijriah tak lama lagi tiba. Banyak masyarakat yang masih bertanya-tanya apakah Lebaran tahun ini terjadi perbedaan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memperkirakan perayaan Lebaran di Indonesia akan serentak alias sama.
Deputi Bidang Sains Pengkajian Informasi dan Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin memperkirakan perayaan Idulfitri 1434 Hijriah akan dilangsungkan serentak pada 8 Agustus.
“Idulfitri kemungkinan sama karena pada saat itu hilal positif terlihat di seluruh wilayah Indonesia dengan ketinggiannya hampir mencapai 3,4 derajat,” katanya di Jakarta, Minggu (4/8/2013).
Hanya saja, perlu dipastikan dengan mengamati hilal tersebut atau dilakukannya rukyat pada 7 Agustus petang, yang dilanjutkan dengan sidang isbat. Selanjutnya *
Tampilkan postingan dengan label rukyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rukyat. Tampilkan semua postingan
Senin, 05 Agustus 2013
LAPAN : Idul Fitri 1434 H Tak Ada Perbedaan Jatuh pada 8 Agustus
Label:
3.4 derajat,
7 Agustus 2013,
8 Agustus 2013,
alias,
Idul Fitri 1434 H,
jatuh,
LAPAN,
petang,
Prof Dr Thomas Djamaluddin,
rukyat,
sama,
serentak,
sidang isbat,
Tak Ada Perbedaan
Kriteria Visibilitas Hilal (Imkan Rukyat) dan Penafsirannya Oleh Prof. DR T. Djamaluddin
Kriteria visibilitas hilal adalah titik temu rukyat dan hisab. Kriteria itu dirumuskan berdasarkan data rukyat jangka panjang. Analisis statistik pola sebaran data rukyat digunakan untuk menentukan batas minimal peluang terlihatnya hilal yang kemudian dijadikan sebagai kriteria visibilitas hilal. Kriteria visibilitas hilal memang beragam. Hal itu beralasan terkait sifat sains yang memberikan kebebasan bagi para penelitinya untuk memformulasikan model fenomena alam dengan parameter yang dianggap paling baik. Untuk implementasi pada pembuatan kalender, para penggunanya harus memilih salah satu kriteria atau gabungan beberapa parameter. Tentu saja alasan utama pemilihan kriteria adalah kemudahan penggunaan dan akurasinya.
Dalam perkembangan penggunaan kriteria hisab, faktor kemudahan menjadi faktor dominan yang mempengaruhi. Dimulai dari yang paling mudah, ijtimak qoblal ghurub, lalu wujudul hilal, dan sekarang ke arah imkan rukyat yang lebih realistis. Di Indonesia digunakan kriteria “2-3-8”, yaitu “(1) tinggi bulan minimal 2 derajat dan (2) jarak sudut bulan-matahari minimal 3 jam atau umur bulan minimal 8 jam”. Dalam kaitannya dengan pembuatan kalender, kriteria digunakan sebagai batas minimal untuk menyatakan masuknya awal bulan. Namun, dalam kaitannya dengan rukyatul hilal, kriteria digunakan sebagai dasar penolakan rukyatul hilal yang meragukan (misalnya kesaksian tunggal atau kesaksian tanpa alat bantu).
Bila menghendaki kriteria imkan rukyat yang benar-benar menjadi dasar kemungkinan keberhasilan rukyat hilal, kriteria yang digunakan haruslah yang secara statistik merupakan batas optimistik keberhasilan rukyat. Batasan waktunya bukanlah saat maghrib, tetapi beberapa saat setelah itu saat cahaya syafak mulai meredup yang dikenal sebagai “waktu terbaik” (best time). Konsekuensinya, batas ketinggiannya menjadi lebih tinggi, dengan ketinggian lebih dari 5 derajat dan beberapa syarat lainnya. Kriteria optimistik seperti itu antara lain digunakan dalam kriteria SAAO, Yallop, Odeh, dan Shaukat. Sumber *
Dalam perkembangan penggunaan kriteria hisab, faktor kemudahan menjadi faktor dominan yang mempengaruhi. Dimulai dari yang paling mudah, ijtimak qoblal ghurub, lalu wujudul hilal, dan sekarang ke arah imkan rukyat yang lebih realistis. Di Indonesia digunakan kriteria “2-3-8”, yaitu “(1) tinggi bulan minimal 2 derajat dan (2) jarak sudut bulan-matahari minimal 3 jam atau umur bulan minimal 8 jam”. Dalam kaitannya dengan pembuatan kalender, kriteria digunakan sebagai batas minimal untuk menyatakan masuknya awal bulan. Namun, dalam kaitannya dengan rukyatul hilal, kriteria digunakan sebagai dasar penolakan rukyatul hilal yang meragukan (misalnya kesaksian tunggal atau kesaksian tanpa alat bantu).
Bila menghendaki kriteria imkan rukyat yang benar-benar menjadi dasar kemungkinan keberhasilan rukyat hilal, kriteria yang digunakan haruslah yang secara statistik merupakan batas optimistik keberhasilan rukyat. Batasan waktunya bukanlah saat maghrib, tetapi beberapa saat setelah itu saat cahaya syafak mulai meredup yang dikenal sebagai “waktu terbaik” (best time). Konsekuensinya, batas ketinggiannya menjadi lebih tinggi, dengan ketinggian lebih dari 5 derajat dan beberapa syarat lainnya. Kriteria optimistik seperti itu antara lain digunakan dalam kriteria SAAO, Yallop, Odeh, dan Shaukat. Sumber *
Label:
best time,
hilal,
hisab,
Imkan Rukyat,
Kriteria,
kriteria 2-3-8,
Odeh,
pembuatan kalender,
Penafsiran,
Prof. DR T. Djamaluddin,
rukyat,
SAAO,
Shaukat,
titik temu,
Visibilitas,
Yallop
Rabu, 03 Juli 2013
Hormati Kemungkinan Awal Puasa yang Berbeda
JAKARTA - Awal Ramadhan yang ditandai mulainya berpuasa kemungkinan ada perbedaan. Muhammadiyah menetapkan awal puasa pada Selasa (9/7) mendatang. Pemerintah dan juga Nahdlatul Ulama masih menunggu hasil rukyat. Meskipun demikian, pihak-pihak berbeda diharapkan saling menghormati.
”Ada kemungkinan keputusan Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah yang menetapkan awal Ramadhan dengan rukyat hilal (melihat bulan). Kami berharap, meski berbeda pendapat, umat Islam tetap saling menghormati,” kata Ketua Bidang Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas, Selasa (2/7).
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadhan 1434 H jatuh pada Selasa, 9 Juli 2013, berdasarkan perhitungan atau hisab wujudul hilal (keberadaan bulan). Umat Islam di Indonesia diharapkan menghargai keputusan itu meski kemungkinan ada perbedaan.
Menurut perhitungan Muhammadiyah, ijtimak (posisi Bumi dan Bulan berada di bujur langit yang sama) pada awal Ramadhan terjadi pada Senin (8/7) pukul 14.15,55 WIB dengan tinggi Bulan (di Yogyakarta) pada +00. 44’59. Artinya, saat Matahari terbenam, hilal sudah wujud. Dengan begitu, 1 Ramadhan 1434 H jatuh pada esok harinya, Selasa (9/7).
Lalu, Lebaran atau 1 Syawal 1434 H atau hari raya Idul Fitri jatuh pada Kamis (8/8). Itu didasari perhitungan ijtimak awal Syawal terjadi pada Rabu (7/8) pukul 04.52,19 WIB dengan tinggi Bulan pada +03. 54’11”. Artinya, saat itu hilal sudah wujud.
Ketua Lajnah Falaqiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ghazali Masroeri mengatakan, NU tetap menentukan awal Ramadhan dengan rukyat hilal. NU akan meneropong untuk melihat Bulan pada Senin (8/7) sore di 90 titik di seluruh Indonesia, seperti di laut, bukit, atau menara. Ketika matahari terbenam lantas disusul hilal (bulan sabit), malam itu disebut 1 Ramadhan. Kalau tak bisa melihat hilal atau karena di bawah 1 derajat, awal Ramadhan jatuh pada Rabu (10/7).
”Hasil rukyat itu nanti kami laporkan dalam sidang isbat Kementerian Agama yang dijadwalkan pada Senin malam. Nanti, negara akan menetapkan hasil sidang itu sebagai awal Ramadhan,” katanya.
Dalam rilisnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Selasa malam, menegaskan, PBNU belum menentukan awal puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri tahun 2013. NU akan tetap mempertahankan metode rukyat atau melihat hilal sebagai penanda awal bulan. ”Sesuai sabda Nabi Muhammad, puasalah kamu dengan melihat bulan dan berlebaranlah dengan melihat bulan,” ungkap Said Aqil Siroj.
”Ada kemungkinan keputusan Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah yang menetapkan awal Ramadhan dengan rukyat hilal (melihat bulan). Kami berharap, meski berbeda pendapat, umat Islam tetap saling menghormati,” kata Ketua Bidang Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas, Selasa (2/7).
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadhan 1434 H jatuh pada Selasa, 9 Juli 2013, berdasarkan perhitungan atau hisab wujudul hilal (keberadaan bulan). Umat Islam di Indonesia diharapkan menghargai keputusan itu meski kemungkinan ada perbedaan.
Menurut perhitungan Muhammadiyah, ijtimak (posisi Bumi dan Bulan berada di bujur langit yang sama) pada awal Ramadhan terjadi pada Senin (8/7) pukul 14.15,55 WIB dengan tinggi Bulan (di Yogyakarta) pada +00. 44’59. Artinya, saat Matahari terbenam, hilal sudah wujud. Dengan begitu, 1 Ramadhan 1434 H jatuh pada esok harinya, Selasa (9/7).
Lalu, Lebaran atau 1 Syawal 1434 H atau hari raya Idul Fitri jatuh pada Kamis (8/8). Itu didasari perhitungan ijtimak awal Syawal terjadi pada Rabu (7/8) pukul 04.52,19 WIB dengan tinggi Bulan pada +03. 54’11”. Artinya, saat itu hilal sudah wujud.
Ketua Lajnah Falaqiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ghazali Masroeri mengatakan, NU tetap menentukan awal Ramadhan dengan rukyat hilal. NU akan meneropong untuk melihat Bulan pada Senin (8/7) sore di 90 titik di seluruh Indonesia, seperti di laut, bukit, atau menara. Ketika matahari terbenam lantas disusul hilal (bulan sabit), malam itu disebut 1 Ramadhan. Kalau tak bisa melihat hilal atau karena di bawah 1 derajat, awal Ramadhan jatuh pada Rabu (10/7).
”Hasil rukyat itu nanti kami laporkan dalam sidang isbat Kementerian Agama yang dijadwalkan pada Senin malam. Nanti, negara akan menetapkan hasil sidang itu sebagai awal Ramadhan,” katanya.
Dalam rilisnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Selasa malam, menegaskan, PBNU belum menentukan awal puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri tahun 2013. NU akan tetap mempertahankan metode rukyat atau melihat hilal sebagai penanda awal bulan. ”Sesuai sabda Nabi Muhammad, puasalah kamu dengan melihat bulan dan berlebaranlah dengan melihat bulan,” ungkap Said Aqil Siroj.
Label:
+00. 44’59,
Awal,
berbeda,
Ghazali Masroeri,
hilal,
Kemungkinan,
kurang 1 derajat,
Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama,
pemerintah,
puasa,
Rabu (10/7),
rukyat,
wujud,
Yunahar Ilyas
Jumat, 20 Juli 2012
Hilal di Cakung, Dianulir?
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghazalie Masroeri meragukan kualitas rukyat di Cakung. Bukan hanya meragukan, tapi mengatakan hasil rukyat di Cakung itu tidak sah dan meminta Kementerian Agama menertibkan tim rukyat di sana.
Ada empat hal, kata Kiai Ghazalie yang menyebabkan hasil rukyat di Cakung tidak shahih menurut ilmu falak.
Pertama hilal dilaporkan berhasil diamati pada pukul 17.53 WIB, sebelum waktu maghrib untuk wilayah Jakarta tiba. Padahal menurut ketentuan syariat dan berdasarkan pedoman ilmu astronomi hilal baru mungkin dilihat setelah ghurub, atau terbenam matahari. “Belum maghrib, mustahil mendapatkan hilal,” kata Kiai Ghazali.
Kedua, cuaca di Jakarta, tepatnya di Cakung pada saat diadakan rukyat dalam keadaan mendung. Sementara arah pengamatan hilal di lokasi rukyat Cakung saat ini sudah terhalang gedung-gedung tinggi Jakarta.
“Sudah lama kami mensurvei lokasi rukyat di Cakung. Tempatnya dan alat yang dipakai sangat sederhana. Sementara di barat sana terdapat gedung pencakar langit,” tambah Kiai Ghazalie.
Ketiga, tim rukyat yang menyatakan berhasil melihat hilal adalah orang yang itu-itu saja. Hakim yang menyumpah juga hakim yang itu-itu saja. Sangat kompak. “Tolong disampaikan hakim mana yang menyumpah dan dan di wilayah mana,” kata Kiai Ghazali,
Keempat, ahli falak NU itu mengingatkan, rukyat tidak bisa dilakukan oleh orang sembarangan, dan harus disertai ilmunya. Laporan hasil rukyat tidak cukup hanya dengan sumpah tetapi juga harus disertai data mengenai posisi matahari tenggelam, berapa jarak antara bulan dan matahari, serta bagaimana kondisi kemiringan hilal yang berhasil diamati.
Maka tegas Lajnah Falakiyah PBNU meminta pihak Kementeterian Agama segera mengadakan peninjauan kembali apakah layak Cakung digunakan untuk melakukan rukyat.
“Perlu ada tinjauan dari Kemenag agar tidak menjadi insiden terus-menerus. Ini bikan main-main. Saya minta hakim yang menyumpah dipanggil Mahkamah Agung untuk diperingatkan,” kata Kiai Ghazalie. NU Online juga menerima laporan dari berbagai daerah dan beberapa pesantren bahwa tim rukyat Cakung menyebarkan hasil rukyatnya sehingga membuat gelisah warga.
Semoga tulisan ini dapat menjernihkan polemik yang terjadi serta menepis isu dan tuduhan miring kepada pemerintah & ormas-ormas yang menetapkan 1 ramadhan jatuh hari sabtu 21 juli 2012. Sehingga kita lebih cerdas bersikap dan lebih khusyu dalam beribadah. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.
Ada empat hal, kata Kiai Ghazalie yang menyebabkan hasil rukyat di Cakung tidak shahih menurut ilmu falak.
Pertama hilal dilaporkan berhasil diamati pada pukul 17.53 WIB, sebelum waktu maghrib untuk wilayah Jakarta tiba. Padahal menurut ketentuan syariat dan berdasarkan pedoman ilmu astronomi hilal baru mungkin dilihat setelah ghurub, atau terbenam matahari. “Belum maghrib, mustahil mendapatkan hilal,” kata Kiai Ghazali.
Kedua, cuaca di Jakarta, tepatnya di Cakung pada saat diadakan rukyat dalam keadaan mendung. Sementara arah pengamatan hilal di lokasi rukyat Cakung saat ini sudah terhalang gedung-gedung tinggi Jakarta.
“Sudah lama kami mensurvei lokasi rukyat di Cakung. Tempatnya dan alat yang dipakai sangat sederhana. Sementara di barat sana terdapat gedung pencakar langit,” tambah Kiai Ghazalie.
Ketiga, tim rukyat yang menyatakan berhasil melihat hilal adalah orang yang itu-itu saja. Hakim yang menyumpah juga hakim yang itu-itu saja. Sangat kompak. “Tolong disampaikan hakim mana yang menyumpah dan dan di wilayah mana,” kata Kiai Ghazali,
Keempat, ahli falak NU itu mengingatkan, rukyat tidak bisa dilakukan oleh orang sembarangan, dan harus disertai ilmunya. Laporan hasil rukyat tidak cukup hanya dengan sumpah tetapi juga harus disertai data mengenai posisi matahari tenggelam, berapa jarak antara bulan dan matahari, serta bagaimana kondisi kemiringan hilal yang berhasil diamati.
Maka tegas Lajnah Falakiyah PBNU meminta pihak Kementeterian Agama segera mengadakan peninjauan kembali apakah layak Cakung digunakan untuk melakukan rukyat.
“Perlu ada tinjauan dari Kemenag agar tidak menjadi insiden terus-menerus. Ini bikan main-main. Saya minta hakim yang menyumpah dipanggil Mahkamah Agung untuk diperingatkan,” kata Kiai Ghazalie. NU Online juga menerima laporan dari berbagai daerah dan beberapa pesantren bahwa tim rukyat Cakung menyebarkan hasil rukyatnya sehingga membuat gelisah warga.
Semoga tulisan ini dapat menjernihkan polemik yang terjadi serta menepis isu dan tuduhan miring kepada pemerintah & ormas-ormas yang menetapkan 1 ramadhan jatuh hari sabtu 21 juli 2012. Sehingga kita lebih cerdas bersikap dan lebih khusyu dalam beribadah. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.
Label:
Cakung,
dianulir,
gedung,
hilal,
ilmu falak,
Jakarta,
Kementerrian Agama,
KH A Ghazalie Masroeri,
kompak,
Lajnah Falakiyah,
lokasi,
Maghrib,
mendung,
PBNU,
rukyat,
sah,
sebelum,
shahih,
tinggi
Langganan:
Postingan (Atom)