Tampilkan postingan dengan label hilal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hilal. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Agustus 2013

Kriteria Visibilitas Hilal (Imkan Rukyat) dan Penafsirannya Oleh Prof. DR T. Djamaluddin

Kriteria visibilitas hilal adalah titik temu rukyat dan hisab. Kriteria itu dirumuskan berdasarkan data rukyat jangka panjang. Analisis statistik pola sebaran data rukyat digunakan untuk menentukan batas minimal peluang terlihatnya hilal yang kemudian dijadikan sebagai kriteria visibilitas hilal. Kriteria visibilitas hilal memang beragam. Hal itu beralasan terkait sifat sains yang memberikan kebebasan bagi para penelitinya untuk memformulasikan model fenomena alam dengan parameter yang dianggap paling baik. Untuk implementasi pada pembuatan kalender, para penggunanya harus memilih salah satu kriteria atau gabungan beberapa parameter. Tentu saja alasan utama pemilihan kriteria adalah kemudahan penggunaan dan akurasinya.

Dalam perkembangan penggunaan kriteria hisab, faktor kemudahan menjadi faktor dominan yang mempengaruhi. Dimulai dari yang paling mudah, ijtimak qoblal ghurub, lalu wujudul hilal, dan sekarang ke arah imkan rukyat yang lebih realistis. Di Indonesia digunakan kriteria “2-3-8”, yaitu “(1) tinggi bulan minimal 2 derajat dan (2) jarak sudut bulan-matahari minimal 3 jam atau umur bulan minimal 8 jam”. Dalam kaitannya dengan pembuatan kalender, kriteria digunakan sebagai batas minimal untuk menyatakan masuknya awal bulan. Namun, dalam kaitannya dengan rukyatul hilal, kriteria digunakan sebagai dasar penolakan rukyatul hilal yang meragukan (misalnya kesaksian tunggal atau kesaksian tanpa alat bantu).

Bila menghendaki kriteria imkan rukyat yang benar-benar menjadi dasar kemungkinan keberhasilan rukyat hilal, kriteria yang digunakan haruslah yang secara statistik merupakan batas optimistik keberhasilan rukyat. Batasan waktunya bukanlah saat maghrib, tetapi beberapa saat setelah itu saat cahaya syafak mulai meredup yang dikenal sebagai “waktu terbaik” (best time). Konsekuensinya, batas ketinggiannya menjadi lebih tinggi, dengan ketinggian lebih dari 5 derajat dan beberapa syarat lainnya. Kriteria optimistik seperti itu antara lain digunakan dalam kriteria SAAO, Yallop, Odeh, dan Shaukat. Sumber *

Rabu, 03 Juli 2013

Hormati Kemungkinan Awal Puasa yang Berbeda

JAKARTA - Awal Ramadhan yang ditandai mulainya berpuasa kemungkinan ada perbedaan. Muhammadiyah menetapkan awal puasa pada Selasa (9/7) mendatang. Pemerintah dan juga Nahdlatul Ulama masih menunggu hasil rukyat. Meskipun demikian, pihak-pihak berbeda diharapkan saling menghormati.

”Ada kemungkinan keputusan Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah yang menetapkan awal Ramadhan dengan rukyat hilal (melihat bulan). Kami berharap, meski berbeda pendapat, umat Islam tetap saling menghormati,” kata Ketua Bidang Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas, Selasa (2/7).

Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadhan 1434 H jatuh pada Selasa, 9 Juli 2013, berdasarkan perhitungan atau hisab wujudul hilal (keberadaan bulan). Umat Islam di Indonesia diharapkan menghargai keputusan itu meski kemungkinan ada perbedaan.

Menurut perhitungan Muhammadiyah, ijtimak (posisi Bumi dan Bulan berada di bujur langit yang sama) pada awal Ramadhan terjadi pada Senin (8/7) pukul 14.15,55 WIB dengan tinggi Bulan (di Yogyakarta) pada +00. 44’59. Artinya, saat Matahari terbenam, hilal sudah wujud. Dengan begitu, 1 Ramadhan 1434 H jatuh pada esok harinya, Selasa (9/7).

Lalu, Lebaran atau 1 Syawal 1434 H atau hari raya Idul Fitri jatuh pada Kamis (8/8). Itu didasari perhitungan ijtimak awal Syawal terjadi pada Rabu (7/8) pukul 04.52,19 WIB dengan tinggi Bulan pada +03. 54’11”. Artinya, saat itu hilal sudah wujud.

Ketua Lajnah Falaqiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ghazali Masroeri mengatakan, NU tetap menentukan awal Ramadhan dengan rukyat hilal. NU akan meneropong untuk melihat Bulan pada Senin (8/7) sore di 90 titik di seluruh Indonesia, seperti di laut, bukit, atau menara. Ketika matahari terbenam lantas disusul hilal (bulan sabit), malam itu disebut 1 Ramadhan. Kalau tak bisa melihat hilal atau karena di bawah 1 derajat, awal Ramadhan jatuh pada Rabu (10/7).

”Hasil rukyat itu nanti kami laporkan dalam sidang isbat Kementerian Agama yang dijadwalkan pada Senin malam. Nanti, negara akan menetapkan hasil sidang itu sebagai awal Ramadhan,” katanya.

Dalam rilisnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Selasa malam, menegaskan, PBNU belum menentukan awal puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri tahun 2013. NU akan tetap mempertahankan metode rukyat atau melihat hilal sebagai penanda awal bulan. ”Sesuai sabda Nabi Muhammad, puasalah kamu dengan melihat bulan dan berlebaranlah dengan melihat bulan,” ungkap Said Aqil Siroj.

Senin, 24 September 2012

Stellarium: Hari Raya Qurban Jatuh Pada Tanggal 26 Oktober 2012?


Yuk melihat simulasi hilal dengan menggunakan Stellarium, program virtual astronomi. Dari simulasi Stellarium hilal bakal terlihat pada tanggal 16 Oktober 2012, pukul 17:42:43, pada posisi lebih dari 10 derajat di atas ufuk sebelah barat di Jakarta. Sehingga penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1433H jatuh pada tanggal 17 Oktober 2012 dan penentuan Hari Raya Qurban (Idhul Adha) adalah pada tanggal 26 Oktober 2012. Nampaknya tidak akan ada perbedaan penetapan Hari Raya Qurban tahun ini, antara organisasi masa Muhammadiyah dengan Pemerintah. Semoga, amin.

Sumber: *

Kamis, 09 Agustus 2012

Hilal Bakal Kelihatan Pada Tanggal 18 Agustus 2012?

Inilah gambaran perkiraan posisi Bulan terhadap Matahari sesaat tenggelam di ufuk barat, terekam pada tanggal 18 Agustus 2012 pukul 17:50:36 WIB, lolasi virtual di Jakarta.

Nampak posisi Bulan (Moon) lebih dari 7,5 derajat. Simulasi posisi Bulan & Matahari di ufuk barat di Jakarta ini merupakan simulasi program komputer gratis bernama Stellarium 0.11.0
Apakah HILAL bakal kelihatan?, Jadikan tanggal, tempat dan waktu perkiraan di atas sebagai patokan untuk melihat Hilal pada tanggal 18 Agustus 2012.

Semoga Hilal dapat kelihatan, sehingga terjadi kesamaan Hari Raya Fitri 1 Syawal 1433H pada tangga 19 Agustus 2012. Semoga, Amin, amin, amin ya Robbal 'Alamin.

Hilal di Kupang 18 Agustus 2012 (Sumber Kominfo)


Sumber: *

Jumat, 20 Juli 2012

Hilal di Cakung, Dianulir?

Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghazalie Masroeri meragukan kualitas rukyat di Cakung. Bukan hanya meragukan, tapi mengatakan hasil rukyat di Cakung itu tidak sah dan meminta Kementerian Agama menertibkan tim rukyat di sana.

Ada empat hal, kata Kiai Ghazalie yang menyebabkan hasil rukyat di Cakung tidak shahih menurut ilmu falak.

Pertama hilal dilaporkan berhasil diamati pada pukul 17.53 WIB, sebelum waktu maghrib untuk wilayah Jakarta tiba. Padahal menurut ketentuan syariat dan berdasarkan pedoman ilmu astronomi hilal baru mungkin dilihat setelah ghurub, atau terbenam matahari. “Belum maghrib, mustahil mendapatkan hilal,” kata Kiai Ghazali.

Kedua, cuaca di Jakarta, tepatnya di Cakung pada saat diadakan rukyat dalam keadaan mendung. Sementara arah pengamatan hilal di lokasi rukyat Cakung saat ini sudah terhalang gedung-gedung tinggi Jakarta.

“Sudah lama kami mensurvei lokasi rukyat di Cakung. Tempatnya dan alat yang dipakai sangat sederhana. Sementara di barat sana terdapat gedung pencakar langit,” tambah Kiai Ghazalie.

Ketiga, tim rukyat yang menyatakan berhasil melihat hilal adalah orang yang itu-itu saja. Hakim yang menyumpah juga hakim yang itu-itu saja. Sangat kompak. “Tolong disampaikan hakim mana yang menyumpah dan dan di wilayah mana,” kata Kiai Ghazali,

Keempat, ahli falak NU itu mengingatkan, rukyat tidak bisa dilakukan oleh orang sembarangan, dan harus disertai ilmunya. Laporan hasil rukyat tidak cukup hanya dengan sumpah tetapi juga harus disertai data mengenai posisi matahari tenggelam, berapa jarak antara bulan dan matahari, serta bagaimana kondisi kemiringan hilal yang berhasil diamati.

Maka tegas Lajnah Falakiyah PBNU meminta pihak Kementeterian Agama segera mengadakan peninjauan kembali apakah layak Cakung digunakan untuk melakukan rukyat.

“Perlu ada tinjauan dari Kemenag agar tidak menjadi insiden terus-menerus. Ini bikan main-main. Saya minta hakim yang menyumpah dipanggil Mahkamah Agung untuk diperingatkan,” kata Kiai Ghazalie. NU Online juga menerima laporan dari berbagai daerah dan beberapa pesantren bahwa tim rukyat Cakung menyebarkan hasil rukyatnya sehingga membuat gelisah warga.

Semoga tulisan ini dapat menjernihkan polemik yang terjadi serta menepis isu dan tuduhan miring kepada pemerintah & ormas-ormas yang menetapkan 1 ramadhan jatuh hari sabtu 21 juli 2012. Sehingga kita lebih cerdas bersikap dan lebih khusyu dalam beribadah. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.

Pencarian Hilal di Arab Saudi dan Indonesia

SEMENANJUNG Arab adalah bentang daratan beralam kejam di siang hari. Tandus dan kering. Namun di malam hari. Arab adalah "surga" bagi para astronom. Langit Arab di malam hari, selalu indah.

Seperti China, sebagai bangsa dan peradaban tua, sastrawan Arab banyak menyanjung langit di malam hari. Malam adalah inspirasi keindahan, sedangkan siang diibaratkan "kekerasan."

Tak mengherankan jika khasanah intelektual dunia soal astronomi banyak lahir di tanah Arab. Gugusan bintang-bintang banyak lahir dari istilah Arab awal. Rasi bintang Orion awalnya dikenal dengan Al-Jabbar, Taurus (Ath-Thawr), Canis Major (Al-Kalb Al-Akbar), Canis Minor (Al-Kalb Al-Asghar), Leo (Al-Asad), Gemini (At-Tawa'man), Scorpius (Al-'Aqrab), dan beberapa lainnya.

Inilah yang menjelaskan, kenapa di banyak negara-negara Islam di Semenanjung Arab, seperti Mesir, Syira, atau Yaman dalam memutuskan 1 Ramadan, selalu merujuk ke Arab. Ke Tanah Haram, Mekkah.

Bahkan Malaysia dan Jepang, yang jauh di tenggara Asia, pun senantiasa berkiblat pada penentuan 1 Ramadan atau Syawal di Mekkah. Langit Mekkah dan Jeddah, selalu lebih terang. Rasi bintang di malam hari selalu terlihat lebih jelas.

Dan, memang perbedaan 1 Syawal dan 1 Ramadan hanya soal cara sistem penghitungan belaka, dan kondisi langit atau ufuk saat rukyah hilal.

Ingatkah kita, di Indonesia, hampir 3 dekade di masa pemerintah Soeharto begitu kuat perbedaan "cara" itu nyaris tak pernah ada. Itu karena pemerintah kuat, dan masih punya otoritas dan kepercayaan.

Sementara Indonesia umumnya menentukan sendiri, melalui pertemuan antara pemeritah dan ormas-ormas Islam.

Dalam perhitungan 1 Ramadan dan 1 Syawal, ada yang memakai Hisab dengan perhitungan astronomi yang rumit, ada pula yang memakai Ru'yah atau melihat bulan/hilal.

Ada pun yang memakai sistem Hisab berpendapat mereka melihat bulan dengan memakai ilmu kalendering. Inilah yang selama ini jadi rujukan ormas Muhammadiyah.

Dengan rujukan ini, 1 Ramadan 1455, atau di 22 tahun akan datang (tahun 2034) mendatang, sudah bisa diketahui, atau disesuaikan dengan kalender masehi.

Yang kedua, dengan rukyah, jika bulan terlihat, itulah saat mulai berpuasa atau berbuka puasa (Idulfitri). Inilah yang dipakai oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenag dan Ormas Nahdlatul Ulama (NU).

Pada Ru'yah lokal, tiap penduduk melihat bulan sendiri-sendiri, sehingga tiap kota atau tiap negara merayakan hari Idulfitri sendiri-sendiri bisa berbeda satu negara dengan negara yang lain bahkan satu kota dengan kota yang lain.

Ada pun yang memakai Ru'yah Global begitu ada minimal 2 orang saksi yang dipercaya melihat bulan, maka itulah awal Ramadan atau awal Syawal. Rujukan yang terakhir ini biasanya http://moonsighting.com/

Umumnya Tim Ru'yah di Indonesia gagal melihat hilal (bulan muda) bukan karena mereka "bodoh" atau minimnya peralatan. Ini lebih disebabkan karena memang langit lagi berawan, atau banyak partikel cahaya dari bumi. Inilah yang menyebabkan bulan muda sering tertutup awan.

Selain itu, Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia begitu terang oleh cahaya lampu-lampu gedung dan rumah-rumah sehingga langit juga terlihat lebih terang termasuk di Boscha.

Akibatnya sinar-sinar bintang dan bulan terganggu dan terlihat kecil dan redup. Di Arab sebaliknya. Langit tidak berawan. Dengan luas darat yang lebih besar daripada Indonesia (2,4 juta km2) sementara jumlah penduduk cuma 1/5 pulau Jawa, banyak daerah tak bertuan yang tidak berlampu.

Galap gulita. Itulah, kenapa langit dan rasi bintang di Arab pada malam hari selalu lebih indah.

Sehingga langit begitu hitam kelam, sementara bintang-bintang dan bulan jadi tampak lebih besar (sekitar 4-6x lipat daripada di Indonesia) dan lebih terang. Oleh karena itu, Hilal lebih mudah terlihat di sana.

Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengungkapkan setelah mengamati posisi bulan menyimpulkan jika nantinya akan ada potensi perbedaan dalam penetapan 1 Ramadan.

Dari perjalanan bulan, diketahui bahwa pada maghrib akhir Sya'ban atau 19 Juli 2012 nanti bulan telah wujud atau tampak di Indonesia. Akan tetapi ketinggiannya kurang dari imkan rukyat. Ketentuan Imkan rukyat menggunakan kriteria yang disepakati ketinggian bulan minimal 2 derajat.


Nah, karena pada 19 Juli 2012 bulan sudah wujud tetapi kurang dari 2 derajat, maka pengguna hisab wujudul hilal akan menetapkan awal Ramadan jatuh pada 20 Juli. Pengguna hisab wujudul hilal ini di antaranya adalah Muhammadiyah.

Sedangkan ormas yang menggunakan hisab imkan rukyat akan menetapkan 1 Ramadan pada 21 Juli. Sementara itu, posisi hilal yang rendah tadi (antara 0-2 derajat) tidak mungkin akan berhasil di-rukyat pada 19 Juli.

Maka pengguna rukyat kemungkinan besar menetapkan 1 Ramadan jatuh pada 21 Juli. Pengguna rukyat ini di antaranya adalah pemerintah dan NU (Nahdlatul Ulama).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
//** Like Button FB **//
//** Like Button FB **//