Kejaksaan Agung menangkap guru besar dokter ahli kebidanan M Hatta Anshori di tempat persembunyiannya di Desa Lungge, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu 9 November 2013 sekitar pukul 20:45 WIB. Hatta dieksekusi karena berstatus terpidana bersalah korupsi dana mahasiswa Rp 2,5 miliar.
Korupsi itu dilakukan Hatta saat menjabat Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Sumatera Selatan. Uang tersebut digunakan Hatta untuk kepentingan pribadi.
"Berdasarkan putusan MA nomor: 524 K/Pid.Sus/2011 tanggal 15 juli 2011 yang menyatakan bahwa terpidana Prof Hatta Anshori, SpOG (K) telah melakukan penyelewengan dana Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) PPDS di Fakultas Kedokteran Unsri dengan rekannya Prof dr H Zarkasih Anwar S.pA," kata Kapuspenkum, Setia Untung Arimuladi kepada Liputan6.com, Jakarta, Minggu, (10/11/2013). Selanjutnya *
Tampilkan postingan dengan label Kejaksaan Agung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kejaksaan Agung. Tampilkan semua postingan
Senin, 11 November 2013
Korupsi Dana Mahasiswa, Dokter Ahli Kebidanan Dieksekusi
Label:
Ahli Kebidanan,
dana,
Dieksekusi,
dokter,
FK,
Hatta Anshori,
Kejaksaan Agung,
korupsi,
Lungge,
mahasiswa,
Palembang,
PPDS,
profesor,
S.pA,
Setia Untung Arimuladi,
SpOG (K),
Temanggung,
terpidana,
Unsri,
Zarkasih Anwar
Minggu, 18 Agustus 2013
BUMN 'Digoyang' Perekonomian Indonesia Terganggu
JAKARTA - Kejaksaan Agung sebaiknya tidak menjadikan tindak pidana korupsi pada teknis manajerial sebagai dalih yang dipaksakan untuk menjerat direksi pada badan usaha milik negara (BUMN) atau milik daerah sebagai tersangka korupsi. Pasalnya, hal ini dapat menghambat direksi menjalankan kinerja usaha perusahaan secara menyeluruh dalam menghadapi persaingan pelaku ekonomi global.
"Selama direksi telah menjalankan kebijakan sesuai payung hukum dan mengikuti asas kehati-hatian maka mereka harus dibebaskan dari sangkaan korupsi," ujar pengamat hukum yang juga Presiden Jaringan Pemberantasan Korupsi (JPK) Ery Setyanegara, kepada wartawan, Minggu (18/8/2013). Selanjutnya *
"Selama direksi telah menjalankan kebijakan sesuai payung hukum dan mengikuti asas kehati-hatian maka mereka harus dibebaskan dari sangkaan korupsi," ujar pengamat hukum yang juga Presiden Jaringan Pemberantasan Korupsi (JPK) Ery Setyanegara, kepada wartawan, Minggu (18/8/2013). Selanjutnya *
Jumat, 23 November 2012
Melecehkan Gus Dur, Soetan Bhatoegana Menyakiti Warga Nahdliyin
Gus Dur |
“Tuduhan Sutan Bhatoegana bahwa Gus Dur korup sungguh kelewatan. Tendensius. Itu cara keji dia melindungi pemerintah SBY dari isu sebagai rezim korup. Sebab kenyataannya, Gus Dur tak terlibat kasus Buloggate maupun Bruneigate. Makanya Kejaksaan Agung menerbitkan SP3,” ujar jubir Presiden era Gus Dur yakni Adhie Masardi dalam pesan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Jumat (23/11/2012).
Dalam Dialog Kenegaraan DPD RI bertema “Pembubaran BP Migas untuk Kemakmuran Rakyat?” yang digelar di lobi Gedung Dewan Perwakilan Daerah, Senayan, Jakarta (21/11/2012), Sutan Bhatoegana berang ketika Adhie Massardi, koordinator Gerakan Indonesia Bersih mengatakan Migas kita jadi ajang korupsi mafia Migas yang dilindungi rezim SBY.
Dalam Dialog Kenegaraan yang rutin digelar DPD itu, selain Ketua Komisi VII DPR yang membawahi sektor migas Sutan Bhatoegana, juga tampil Wakil Ketua DPD La Ode Ida, pengamat perminyakan Dr Kurtubi, mantan kepala BP Migas R Priyono, pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, dan Adhie M Massardi sebagai Ketua Tim Non-Litigasi Uji Materi UU Migas yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga BP Migas dinyatakan bubar (13/11/2012).
Mengingat pernyataan Soetan Bhatoegana yang menuduh Gus Dur dijatuhkan karena terlibat korupsi di luar konteks pembicaraan, Adhie mengaku waktu itu enggan menanggapinya.
Tapi sejumlah kiai NU dan kalangan Nahdliyin yang mendengar pernyataan Bhatoegana lewat siaran langsung RRI Pro 3 tidak terima tokoh panutannya dilecehkan tokoh Partai Demokrat, minta dirinya untuk meluruskan hal itu.
“Sidang Istimewa MPR 2001 yang digelar untuk melengserkan Gus Dur, dalam undangannya kepada seluruh anggota MPR yang ditandatangani Ketua MPR Amien Rais ketika itu, karena Presiden menetapkan Wakil Kepala Polri Komjen Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kepala Polri menggantikan Jenderal (Pol) Soerojo Bimantoro. Hal ini, menurut Amien Rais Cs, menyalahi Tap MPR No VII/MPR/2000,” tutur Adhie.
Sedangkan diterbitkannya Maklumat Dekrit oleh Gus Dur, tambah Adhie, merupakan langkah ekstrakonstitusional yang bisa dilakukan Presiden untuk menghentikan tindakan inkonstitusional Amien Rais Cs. Tapi dalam perkembangannya, Amien Rais Cs malah mengubah alasan SI MPR menjadi “karena Presiden mengeluarkan dekrit”.
“Padahal kalau ditelaah secara seksama, kemelut politik di masa itu meruncing karena Menko Polsoskam (Susilo Bambang Yudhoyono) yang ditugasi Presiden Gus Dur memimpin Crisis Center guna menjembatani pertentangan Parlemen dan Presiden tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Itu sebabnya Presiden kemudian melantik Jenderal Agum Gumelar menjadi Menko Polsoskam menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono,” tutur Adhie.
Atas dasar itu, Adhie Masardi akan membentuk “tim kerja pelurusan sejarah KH Abdurrahman Wahid” yang ketokohan dan kebesarannya diakui bangsa Indonesia. Sehingga upaya pelecehan terhadap tokoh kebanggaan kaum Nahdliyin dan pecinta demokrasi dan pluralisme seperti dilakukan Sutan Bhatoegana tidak terjadi lagi di masa depan.
Label:
Adhie Masardi,
BP Migas,
Brunaigate,
Bulogate,
Dialog Kenegaraan,
DPD,
Dr Kurtubi,
Gerakan Indonesia Bersih,
Gus Dur,
Kejaksaan Agung,
La Ode Ida,
Partai Demokrat,
R Priyono,
RRI Pro 3,
SP3,
Sutan Bhatoegana
Langganan:
Postingan (Atom)