Tampilkan postingan dengan label kekerasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kekerasan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Oktober 2013

Kronologi Pembunuhan di Apartemen Kalibata City

Holly Angela Hayu, seorang penghuni kamar E 09 AT, apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan ditemukan bersimbah darah di dalam kamarnya, Senin 30 September 2013 malam. Saat itu kondisi korban masih hidup hingga akhirnya petugas membawa ke rumah sakit terdekat.

Ditengah perjalanan, Angela menghembuskan nafas terakhirnya dan petugas membawa korban ke RSCM Jakarta Pusat untuk dilakukan visum. Ditemukannya Angela dalam kondisi mengenaskan itu bermula dari adanya temuan sosok lelaki yang jatuh dari lantai 9 kamar tersebut.

Lelaki yang belum diketahui identitasnya itu tergeletak di taman Ebony apartemen Kalibata. Dia ditemukan sudah tergeletak dan tewas sekitar pukul 23.00 WIB.

Kapolsek Metro Pancoran, Komisaris I Nengah mengatakan setelah mendapat laporan peristiwa itu, dirinya bersama dengan tim Reserse langsung mendatangi lokasi kejadian dan melakukan olah tempat kejadian perkara.

"Kami mendapat laporan dari security apartemen yang memberitahu jika ada seorang laki-laki yang meninggal dunia karena jatuh dari lantai 9," ujar Nengah, Selasa 1 Oktober 2013.

Dari hasil pemeriksaan, lelaki tersebut berusia sekitar 30 tahun. Saat ditemukan dia menggunakan sepatu kets, celana, dan kaus coklat.

"Terdapat luka di kepala bagian belakang, rusuk kiri terbaret dan rusuk kanan patah," katanya.

Petugas, lanjut dia bergegas dari bawah ke lantai 9. Di sana petugas mendapati seorang wanita dalam keadaan terikat posisi tertelungkup dan ditemukan luka pada bagian kepala, leher dan wajah berlumuran darah.

"Pintu juga kami temukan sedikit bercak darah. Sementara di bagian dalamnya, terlihat sejumlah perabotan yang berantakan dan lantainya penuh bercak darah sampai ke bagian jendela," kata dia.

Petugas gabungan Polsek Metro Pancoran dan Polres Metro Jakarta Selatan yang menyelidiki kasus ini menduga jika lelaki yang jatuh tersebut melakukan kekerasan terhadap Angela sebelum akhirnya melompat dari lantai 9 apartemen itu.

Setelah menggorok leher perempuan tersebut, barulah diduga si lelaki menjatuhkan diri. Kasus ini masih diselidiki petugas kepolisian. Sumber *

Rabu, 24 Juli 2013

MPR: FPI tidak paham Islam dan Pancasila

Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli ikut geram dengan sikap Front Pembela Islam (FPI) yang sering kali meresahkan warga dalam aksi sweepingnya. Dia menyebut, bahwa FPI tak paham ajaran agama Islam dan nilai-nilai Pancasila.

Melani mengatakan, persepsi FPI dalam setiap melakukan tindakan mungkin saja dengan mengutamakan perintah agama. Sayangnya, lanjut dia, perintah agama yang menjadi pedoman FPI salah diartikan.

Karena, lanjut dia, dalam ajaran agama Islam, sama sekali tidak diajarkan kekerasan dan tindakan anarkisme. Selain itu, Melani menduga bahwa FPI tidak paham dengan nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia.

"Mungkin persepsi mereka mengutamakan perintah agama, tapi salah. Agama tidak mengatakan pakai kekerasan, mungkin persepsi mereka terhadap agama salah, dan mereka tidak paham Pancasila. Di Pancasila saja ada unsur ketuhanan, itu bukan berarti Islam. Dengan menjaga memaknai Bhineka Tunggal Ika," kata Melani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/7). Selanjutnya *

Jumat, 19 April 2013

Pengamat: Rating Jadi Tuhannya Sinetron

Tayangan sinetron banyak mendapat perhatian publik, karena dianggap kurang mendidik. Dampak negatif diduga telah banyak ditimbulkan dari setiap adegan yang sarat kekerasan, hardikkan dan sikap-sikap negatif lain.

Pengamat media Maman Suherman mengatakan adegan di sinetron terlalu dibuat-buat dan berbahaya bagi penonton. Banyak cerita di sinetron yang diproduksi karena pihak Production House berpatokan pada rating, tanpa memikirkan isi dari cerita.

"Banyak adegan aneh di sinetron yang membodohi masyarakat. Sebagai contoh ada sinetron yang pemainnya tiba-tiba dari pria tulen menjadi kebanci-bancian, setelah cerita dilanjutkan ternyata pengaruhnya adalah pria tersebut melakukan cangkok ginjal perempuan. Ini kan aneh," urainya saat ditemui dalam acara Publikasi Penelitian Remotivi di Bangi Kopitiam, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (29/11).

"Terlalu sering dalam waktu singkat cerita diubah karena menurut mereka bisa mendongkrak rating tapi tidak masuk akal. Sinetron itu menggangap rating adalah Tuhannya," sambungnya.

Dia berharap masyarakat Indonesia bisa lebih pintar dan lebih berani untuk menentang cerita sinetron yang tidak mendidik. Dia pun mencontohkan yang dilakukan ibu-ibu di Amerika yang berani menuntut suatu program acara yang menonjolkan kekerasan.

"Di sana ada tayangan kartun yang ratingnya tinggi sekali. Tapi karena ibu-ibu sadar bahwa tayangan itu berbahaya bagi anak-anak mereka karena menonjolkan kekerasan, mereka berani membuat suatu komunitas dan menuntut tayangan tersebut untuk berhenti," tutur Maman.

Sabtu, 06 April 2013

Sutiyoso: TNI Pengangguran Kelas Tinggi

Maraknya aksi kekerasan yang terjadi antara TNI dan Polri merupakan warisan persoalan pemisahan wewenang TNI-Polri yang belum diselesaikan. Pengalihan sebagian peran TNI kepada Polri disinyalir kuat menjadi penyebab hal tersebut.

Hal itu dikatakan mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus Sutiyoso, dalam sebuah acara diskusi bertajuk Kecolongan Aksi Cebongan di Jakarta, Sabtu (6/4/2013) siang.

"Setelah dipisahkan, fungsi TNI hanya sebagai alat pertahanan negara. Ini berfungsi jika negara diserang oleh negara lain. Kalau seperti saat ini, negara tidak diserang, maka TNI jadi pengangguran kelas tinggi," kata Sutiyoso.

Dirinya mengatakan, sejumlah fungsi keamanan negara yang sebenarnya dapat ditangani TNI diambil alih oleh Polri. Hal ini, di antaranya, penanggulangan kasus terorisme hingga narkoba. Hal itulah yang akhirnya justru menjadi beban psikologis yang harus dialami TNI sebagai instansi yang berwenang sebagai alat pertahanan negara.

"Di Kopassus kita punya Den 81. Itu adalah unit elit TNI yang digunakan untuk menanggulangi persoalan terorisme. Namun yang terjadi sekarang, yang menangani persoalan teroris adalah Densus 88," ujarnya.

Menurutnya, saat ini hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah yaitu perlu membenahi peraturan yang mengatur tugas dan wewenang TNI di masyarakat. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan di tubuh TNI. Dengan demikian, tidak ada lagi kesenjangan di tubuh aparat. Sutiyoso mengatakan, kesenjangan kesejahteraan memicu terjadinya tindakan radikal di antara dua instansi bela negara seperti yang terjadi di OKU maupun Lapas Cebongan.

"Intinya porsinya perlu diatur. Polisi cukup tangani persoalan tertentu dan tidak perlu semuanya," ujarnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
//** Like Button FB **//
//** Like Button FB **//