JAKARTA – Ditetapkannya batas usia pensiun PNS untuk pegawai pada jabatan administrasi menjadi 58 tahun dalam UU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengundang perhatian masyarakat luas. Banyak PNS terutama yang pada bulan Januari 2014 ini usianya sudah 56 tahun bertanya-tanya, kapan ketentuan itu berlaku. Apakah tetap menjadi PNS hingga 58 tahun, atau harus masuk purna tugas.
Hal itu cukup beralasan, karena undang-undang tentang ASN ini berlaku mulai pada tanggal diundangkan. Menurut ketentuan, paling lambat 30 hari setelah disahkan DPR, undang-undang sudah berlaku meskipun belum ditandatangani Presiden. UU ASN yang disahkan DPR pada tanggal 19 Desember 2013, saat ini masih dalam proses untuk ditandatangani Presiden.
Sekretaris Kementerian PANRB Tasdik Kinanto mengatakan, PNS yang pensiun per 1 Febuari 2014 ke atas, otomatis usia pensiunnya diperpanjang dua tahun lagi. “Untuk pengaturan secara teknis, akan diterbitkan Surat Edaran Kepala BKN,” ujarnya Tasdik, di Jakarta, Rabu (08/01).
Lebih lanjut dikatakan, dengan perubahan batas usia pensiun (BUP) PNS dari 56 tahun menjadi 58 tahun bagi eselon III ke bawah (jabatan administrasi), dan untuk eselon II dan I (Jabatan Pimpinan Tinggi) menjadi 60 tahun, sekitar 11 ribu PNS akan tertahan masa pensiunnya. Mereka akan mendapat kesempatan untuk tetap mengabdi sebagai PNS.
UU ASN itu menegaskan, PNS dapat diberhentikan dengan hormat, antara lain karena meninggal dunia, atas permintaan sendiri, mencapai batas usia pensiun, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pension dini, dan tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Selain itu, PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.
PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum, menjadi anggota/pengurus partai politik, dan dihukum penjara paling singkat 2 (dua) tahun karena melakukan tindak pidana berencana.
PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang secara spesifik diatur dalam pasal 91 ayat (1) UU ASN ini. (ags/HUMAS MENPANRB * )
Tampilkan postingan dengan label Pancasila. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pancasila. Tampilkan semua postingan
Minggu, 12 Januari 2014
PNS yang Pensiun 1 Februari, Otomatis Diperpanjang
Label:
1 Februari 2014,
56 tahun,
58 tahun,
ASN,
BUP,
Diperpanjang,
eselon,
otomatis,
Pancasila,
pensiun,
PNS,
Presiden,
Surat Edaran Kepala BKN,
Tasdik Kinanto,
UU,
UUD 1945
Rabu, 24 Juli 2013
MPR: FPI tidak paham Islam dan Pancasila
Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli ikut geram dengan sikap Front Pembela Islam (FPI) yang sering kali meresahkan warga dalam aksi sweepingnya. Dia menyebut, bahwa FPI tak paham ajaran agama Islam dan nilai-nilai Pancasila.
Melani mengatakan, persepsi FPI dalam setiap melakukan tindakan mungkin saja dengan mengutamakan perintah agama. Sayangnya, lanjut dia, perintah agama yang menjadi pedoman FPI salah diartikan.
Karena, lanjut dia, dalam ajaran agama Islam, sama sekali tidak diajarkan kekerasan dan tindakan anarkisme. Selain itu, Melani menduga bahwa FPI tidak paham dengan nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia.
"Mungkin persepsi mereka mengutamakan perintah agama, tapi salah. Agama tidak mengatakan pakai kekerasan, mungkin persepsi mereka terhadap agama salah, dan mereka tidak paham Pancasila. Di Pancasila saja ada unsur ketuhanan, itu bukan berarti Islam. Dengan menjaga memaknai Bhineka Tunggal Ika," kata Melani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/7). Selanjutnya *
Melani mengatakan, persepsi FPI dalam setiap melakukan tindakan mungkin saja dengan mengutamakan perintah agama. Sayangnya, lanjut dia, perintah agama yang menjadi pedoman FPI salah diartikan.
Karena, lanjut dia, dalam ajaran agama Islam, sama sekali tidak diajarkan kekerasan dan tindakan anarkisme. Selain itu, Melani menduga bahwa FPI tidak paham dengan nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia.
"Mungkin persepsi mereka mengutamakan perintah agama, tapi salah. Agama tidak mengatakan pakai kekerasan, mungkin persepsi mereka terhadap agama salah, dan mereka tidak paham Pancasila. Di Pancasila saja ada unsur ketuhanan, itu bukan berarti Islam. Dengan menjaga memaknai Bhineka Tunggal Ika," kata Melani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/7). Selanjutnya *
Label:
Agama,
anarkisme,
dasar,
diartikan,
FPI,
Front Pembela Islam,
ideologi,
Islam,
kekerasan,
Melani Leimena Suharli,
MPR,
negara,
Pancasila,
perintah,
salah,
tidak paham,
tindakan
Minggu, 09 Juni 2013
JK: Taufiq Kiemas Penjaga Nasionalisme
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas merupakan sosok negarawan yang menjaga nasionalisme secara konstitusional.
"Kita kehilangan tokoh bangsa yang sangat memahami, melaksanakan, dan menjaga nasionalisme secara konstitusional," kata Kalla dalam pesan singkat yang diterima di Jakarta, Sabtu malam (8/6/2013).
Kalla yang sedang berada di luar negeri menyampaikan rasa belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya Taufiq Kiemas.
Sementara itu Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Indonesia (BNP2TKI) Mohammad Jumhur Hidayat menilai Taufiq Kieamas sebagai sosok yang berhasil menjaga keseimbangan di tubuh PDIP sehingga PDIP tetap bisa menjadi "Partai Wong Cilik" yang nasionalis religius.
Selain itu, kata Jumhur, Taufiq Kiemas di akhir masa hayatnya begitu gencar memberikan dukungan moral kepada kaum muda. "Kita sungguh kehilangan beliau secara fisik, namun ruh perjuangannya tidak akan padam dan harus terus dikobar-kobarkan," katanya.
Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas meninggal dunia setelah menjalani perawatan di Singapura pada Sabtu (8/6) malam. Politisi senior yang meninggal di usia 70 tahun itu selama hidupnya dikenal sebagai politisi yang berkomitmen memperjuangkan empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
"Kita kehilangan tokoh bangsa yang sangat memahami, melaksanakan, dan menjaga nasionalisme secara konstitusional," kata Kalla dalam pesan singkat yang diterima di Jakarta, Sabtu malam (8/6/2013).
Kalla yang sedang berada di luar negeri menyampaikan rasa belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya Taufiq Kiemas.
Sementara itu Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Indonesia (BNP2TKI) Mohammad Jumhur Hidayat menilai Taufiq Kieamas sebagai sosok yang berhasil menjaga keseimbangan di tubuh PDIP sehingga PDIP tetap bisa menjadi "Partai Wong Cilik" yang nasionalis religius.
Selain itu, kata Jumhur, Taufiq Kiemas di akhir masa hayatnya begitu gencar memberikan dukungan moral kepada kaum muda. "Kita sungguh kehilangan beliau secara fisik, namun ruh perjuangannya tidak akan padam dan harus terus dikobar-kobarkan," katanya.
Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas meninggal dunia setelah menjalani perawatan di Singapura pada Sabtu (8/6) malam. Politisi senior yang meninggal di usia 70 tahun itu selama hidupnya dikenal sebagai politisi yang berkomitmen memperjuangkan empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Label:
Bhinneka Tunggal Ika,
BNP2TKI,
JK,
Jumhur Hidayat,
Jusuf Kalla,
nasionalis,
Nasionalisme,
NKRI,
Pancasila,
Partai Wong Cilik,
PDIP,
Penjaga,
religius,
Taufiq Kiemas,
UUD 1945
Kamis, 06 Juni 2013
Sutiyoso: Taufik Kiemas Keliru Pahami Pancasila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso menkritik konsep Pancasila sebagai salah satu pilar bangsa seperti yang disosialisasikan oleh ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Taufik Kiemas.
Menurutnya, Pancasila bukan bagian dari empat pilar tapi merupakan falsafah negara.
"Saya tidak begitu setuju dengan pandangan Pak Taufiq Kiemas atau MPR tentang Pancasila sebagai salah satu dari empat pilar. Pandangan itu menyelaraskan Pancasila dengan UUD '45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Padahal Pancasila lebih dari itu," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/6/2013).
Menurutnya, Pancasila bukan pilar melainkan dasar atau 'Weltanschauung', pandangan hidup bangsa indonesia.
Pancasila, kata Sutiyoso merupakan landasan dan jiwa bangsa Indonesia.
Menurutnya, Pancasila bukan bagian dari empat pilar tapi merupakan falsafah negara.
"Saya tidak begitu setuju dengan pandangan Pak Taufiq Kiemas atau MPR tentang Pancasila sebagai salah satu dari empat pilar. Pandangan itu menyelaraskan Pancasila dengan UUD '45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Padahal Pancasila lebih dari itu," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/6/2013).
Menurutnya, Pancasila bukan pilar melainkan dasar atau 'Weltanschauung', pandangan hidup bangsa indonesia.
Pancasila, kata Sutiyoso merupakan landasan dan jiwa bangsa Indonesia.
Label:
empat pilar,
falsafah negara,
Indonesia,
Keliru,
menyelaraskan,
MPR,
Pahami,
Pancasila,
pandangan hidup bangsa,
PKPI,
Setuju,
Sutiyoso,
Taufik Kiemas,
Weltanschauung
Minggu, 02 Juni 2013
Tolak Pemimpin yang Tidak Pancasilais
JAKARTA - Rakyat harus menolak calon legislatif (Caleg), dan Capres, yang jejak rekamnya tidak Pancasilais, melainkan kapitalis, impresialis, dan neoliberalisme. Seluruh kebijakan ekonomi, sosial politik, pendidikan, budaya, agama, dan sebagainya harus menjiwai Pancasila.
“Caleg dan Capres 2014 harus-harus benar ditakar jejak rekamnya terhadap pelaksanaan Pancasila, agar tujuan reformasi seperti mewujudkan penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kesejahteraan, keadilan dalam berbangsa, dan bernegara benar-benar terwujud,” ujar pakar hukum tata Negara Margarito Kamis, dalam dialog kepemimpinan bersama Ketua The Presiden Center Eddy Herwani Didied Mahaswara, dan pengamat politik UI Boni Hargens, di Jakarta, Minggu (2/6/2013).
Margarito mengatakan, DPR dan Presiden ke depan bukan mereka yang membiarkan bangsa ini terkepung oleh kapitalisme, neoliberalisme, dan imperialisme selama reformasi ini.
Namun dia masih optimis tokoh seperti mantan Ketua MK Mahfud MD, Rizal Ramli, Jusuf Kalla dan lainnya, akan mempunyai tempat di hati rakyat, juga partai, jika bangsa ini benar-benar ingin maju dan mandiri. Menyuarakan Pancasila itu tak boleh berhenti dan tak putus asa.
Pengamat politik dari UI Boni Hargens menegaskan elite politik, partai politik, dan penyelenggara Negara sekarang ini, produk-produk kebijakan, dan perilakunya tak mencerminkan Pancasila. Pancasila seolah tinggal kemasan, bahkan seperti bangkai yang dibiarkan mati, tanpa semangat dan ruhnya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara ini.
Menurut Boni, Pancasila itu sumber nilai bagi berbagai kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan program pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan Negara. Presiden SBY gagal mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
Menurutnya penghargaan sebagai negarawan dunia dari ACF (Appeal of Conscience Foundation) yang dinilai mampu menjaga toleransi dalam berbangsa, dan bernegara itu merupakan lelucon yang mengerikan.
“Karena pada saat yang sama masih terjadinya perusakan, pembakaran, diskriminasi bahkan pembunuhan terhadap muslim Ahmadiyah, Syiah, dan Gereja-Gereja di Indonesia. Itu semua akibat tak menjadikan Pancasila sebagai spirit dalam berbangsa,” katanya.
Menurut Didied, legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama menyimpang dari Pancasila, dan tak ada lagi yang bisa mengontrol, maka salah satu jalan adalah harus ada gerakan rakyat, meski namanya bukan revolusi.
“Jadi, harus ada gerakan rakyat Indonesia sendiri, untuk menghadapi kondisi pemimpin yang menyimpang dari Pancasila itu,” katanya.
“Caleg dan Capres 2014 harus-harus benar ditakar jejak rekamnya terhadap pelaksanaan Pancasila, agar tujuan reformasi seperti mewujudkan penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kesejahteraan, keadilan dalam berbangsa, dan bernegara benar-benar terwujud,” ujar pakar hukum tata Negara Margarito Kamis, dalam dialog kepemimpinan bersama Ketua The Presiden Center Eddy Herwani Didied Mahaswara, dan pengamat politik UI Boni Hargens, di Jakarta, Minggu (2/6/2013).
Margarito mengatakan, DPR dan Presiden ke depan bukan mereka yang membiarkan bangsa ini terkepung oleh kapitalisme, neoliberalisme, dan imperialisme selama reformasi ini.
Namun dia masih optimis tokoh seperti mantan Ketua MK Mahfud MD, Rizal Ramli, Jusuf Kalla dan lainnya, akan mempunyai tempat di hati rakyat, juga partai, jika bangsa ini benar-benar ingin maju dan mandiri. Menyuarakan Pancasila itu tak boleh berhenti dan tak putus asa.
Pengamat politik dari UI Boni Hargens menegaskan elite politik, partai politik, dan penyelenggara Negara sekarang ini, produk-produk kebijakan, dan perilakunya tak mencerminkan Pancasila. Pancasila seolah tinggal kemasan, bahkan seperti bangkai yang dibiarkan mati, tanpa semangat dan ruhnya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara ini.
Menurut Boni, Pancasila itu sumber nilai bagi berbagai kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan program pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan Negara. Presiden SBY gagal mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
Menurutnya penghargaan sebagai negarawan dunia dari ACF (Appeal of Conscience Foundation) yang dinilai mampu menjaga toleransi dalam berbangsa, dan bernegara itu merupakan lelucon yang mengerikan.
“Karena pada saat yang sama masih terjadinya perusakan, pembakaran, diskriminasi bahkan pembunuhan terhadap muslim Ahmadiyah, Syiah, dan Gereja-Gereja di Indonesia. Itu semua akibat tak menjadikan Pancasila sebagai spirit dalam berbangsa,” katanya.
Menurut Didied, legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama menyimpang dari Pancasila, dan tak ada lagi yang bisa mengontrol, maka salah satu jalan adalah harus ada gerakan rakyat, meski namanya bukan revolusi.
“Jadi, harus ada gerakan rakyat Indonesia sendiri, untuk menghadapi kondisi pemimpin yang menyimpang dari Pancasila itu,” katanya.
Label:
Boni Hargens,
Caleg,
impresialis,
kapitalis,
kepemimpinan,
Mahfud MD,
Margarito Kamis,
mengontrol,
neoliberalisme,
Pancasila,
Pancasilais,
pemimpin,
reformasi,
sumber nilai,
The Presiden Center,
tolak
Jumat, 17 Mei 2013
Demokrasi di Indonesia Dinilai Palsu
Jakarta - Indonesia telah lama menganut sistem demokrasi. Namun sistem demokrasi di Indonesia dinilai masih belum sempurna.
"Demokrasi kita ini adalah demokrasi palsu," ujar M. Noor Syam, pembicara yang hadir dalam Diskusi dan Deklarasi Masyarakat Studi Ketatanegaraan (MSK) di Gedung JMC, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (17/5/2013).
Ia mengatakan, yang terjadi di Indonesia saat ini adalah oligarki, kekuasaan uang dan anarkisme. Menurutnya, saat ini partai politik masih dikuasai oleh elit-elitnya saja.
"PDIP, Golkar, Demokrat yang menguasai siapa? Sudah jelas kan," ucapnya.
Noor Syam mengatakan, kasus korupsi di Indonesia masih merajalela. Menurutnya, uang masih berkuasa di negeri ini. Selain itu, masyarakat juga sudah banyak melakukan tindak anarkisme.
"Orang kita, kalau keinginannya kalah langsung ke pengadilan. Kalau masih ditolak, maju ke MA. Dengan sikap yang sudah sangat anarkis," ungkap Noor Syam.
Menurut dia, sistem tata negara di Indonesia akan sempurna jika Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilaksanakan sepenuhnya. Sayangnya saat ini menurutnya pengamalan dasar negara tersebut sudah mulai luntur.
"Negara ini akan jaya kalau tidak menyimpang dari Pancasila," ujarnya.
Revolusi dinilai merupakan solusi yang tepat dari permasalahan tersebut. Namun revolusi yang dilakukan bukanlah revolusi yang anarkis.
"Solusinya adalah revolusi. Tetapi bukan revolusi yang mengorbankan rakyat," ujar Suryadi, pembicara yang juga hadir dalam acara tersebut.
Sedangkan Akbar Tanjung yang juga hadir dalam acara tersebut menjelaskan bahwa Pancasila masih diterapkan di Indonesia. Sehingga yang terjadi saat ini bukanlah demokrasi palsu.
"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan itulah yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat," paparnya.
Menurutnya jika MSK menginginkan revolusi, harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat. "Hasil diskusi ini disosialisasikan kepada masyarakat, agar masyarakat tahu," ucap Akbar.
"Demokrasi kita ini adalah demokrasi palsu," ujar M. Noor Syam, pembicara yang hadir dalam Diskusi dan Deklarasi Masyarakat Studi Ketatanegaraan (MSK) di Gedung JMC, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (17/5/2013).
Ia mengatakan, yang terjadi di Indonesia saat ini adalah oligarki, kekuasaan uang dan anarkisme. Menurutnya, saat ini partai politik masih dikuasai oleh elit-elitnya saja.
"PDIP, Golkar, Demokrat yang menguasai siapa? Sudah jelas kan," ucapnya.
Noor Syam mengatakan, kasus korupsi di Indonesia masih merajalela. Menurutnya, uang masih berkuasa di negeri ini. Selain itu, masyarakat juga sudah banyak melakukan tindak anarkisme.
"Orang kita, kalau keinginannya kalah langsung ke pengadilan. Kalau masih ditolak, maju ke MA. Dengan sikap yang sudah sangat anarkis," ungkap Noor Syam.
Menurut dia, sistem tata negara di Indonesia akan sempurna jika Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilaksanakan sepenuhnya. Sayangnya saat ini menurutnya pengamalan dasar negara tersebut sudah mulai luntur.
"Negara ini akan jaya kalau tidak menyimpang dari Pancasila," ujarnya.
Revolusi dinilai merupakan solusi yang tepat dari permasalahan tersebut. Namun revolusi yang dilakukan bukanlah revolusi yang anarkis.
"Solusinya adalah revolusi. Tetapi bukan revolusi yang mengorbankan rakyat," ujar Suryadi, pembicara yang juga hadir dalam acara tersebut.
Sedangkan Akbar Tanjung yang juga hadir dalam acara tersebut menjelaskan bahwa Pancasila masih diterapkan di Indonesia. Sehingga yang terjadi saat ini bukanlah demokrasi palsu.
"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan itulah yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat," paparnya.
Menurutnya jika MSK menginginkan revolusi, harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat. "Hasil diskusi ini disosialisasikan kepada masyarakat, agar masyarakat tahu," ucap Akbar.
Sabtu, 04 Mei 2013
'SANG KIAI', Kisah Perjuangan Untuk Agama Dan Bangsa
Dilatarbelakangi sebuah harapan untuk mengangkat peran kaum agamis dalam sejarah Indonesia, RAPI FILMS menghadirkan film SANG KIAI, sebuah film kolosal yang mengangkat kisah perjuangan ulama kharismatik pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yang juga menjadi tokoh kunci dalam menggerakan santri-santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Tak sekadar mengangkat cerita mengenai tokoh Sang Kiai, film karya Rako Prijanto ini juga mengangkat peran dan perjuangan SANG KIAI di era 1942 sampai 1947 lewat Resolusi Jihad-nya serta perjuangan orang-orang di sekitarnya. K.H. Wahid Hasyim, putra Sang Kiai, bersama-sama dengan para santri, yang dikomandoi oleh Harun berusaha mencari jalan keluar dengan caranya masing-masing untuk membebaskan Sang Kiai dari tangkapan serdadu Jepang.
Cara diplomasi yang dijalankan putra Sang Kiai ternyata sangat berbeda dengan Harun yang lebih memilih cara emosional anak muda yang berapi-api. Tekad yang kuat membela agama dan bangsa yang dicabik-cabik penjajah mendorong Harun bersama dua sahabatnya, Hamzah dan Abdi berjuang sampai ke Surabaya.
"Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia peranan kaum agamis kurang terangkat, sementara kaum ini memiliki andil yang sangat besar. Bahkan dasar negara Pancasila dalam sila pertama menyebutkan Ketuhanan yang Maha Esa yang berarti bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis," ujar Rako Prijanto, sutradara sekaligus penggagas film SANG KIAI.
Sementara menurut Gope T. Samtani, produser film ini, cerita tokoh kepahlawanan dari sejarah jarang ditampilkan sehingga nyaris kalah dengan cerita kepahlawanan fiksi dari luar negeri. Hal inilah yang menarik perhatian Gope untuk mengangkat cerita seorang Pahlawan Nasional.
Menampilkan sederetan aktor dan aktris papan atas dengan kemampuan akting yang tidak diragukan lagi seperti Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken, Dimas Aditya, serta pendatang baru Meriza Febriani.
“Tidak ada kandidat lain kecuali Ikranagara untuk memerankan karakter K.H. Hasyim Asy’ari. Karena disamping secara usia mendekati real karakternya, keadaan fisik dan wajah yang bisa didekatkan ke karakter juga kemampuan aktingnya. Kendala terberat karena ini film sejarah yang tokoh karakternya pernah hidup maka kita harus mencari semirip mungkin tapi juga harus professional,” jelas Rako.
Memakan waktu cukup panjang dalam menyelesaikan film ini. Shooting kurang lebih 60 hari, 2,5 tahun untuk pra-production serta 6 bulan masa post production. Persiapan 2,5 tahun ini dikarenakan pesiapannya dalam mencari bahan informasi, pencarian lokasi, pemain yang sesuai dengan karakter. Syuting film berlatar belakang tahun 1940-an ini mengambil lokasi di Kediri, Gondang, Magelang, Ambarawa dan Semarang.
Film ini menjadi lebih istimewa dengan hadirnya suara grup band papan atas, Ungu, yang akan mengisisoundtrack-nya. Khusus untuk film ini, Ungu menciptakan dua judul lagu berjudul Bila Tiba dan Bunga.
"Hadirnya film SANG KIAI ini diharapkan tak hanya sekadar menghibur dan mendidik saja, namun juga bagi generasi muda khususnya dapat mengenal siapa K.H. Hasyim Asy’ari dan memahami bagaimanapemikiran dan perjuangan beliau untuk agama dan bangsa Indonesia.
Saksikan film SANG KIAI di seluruh bioskop Indonesia mulai 30 Mei 2013!
Tak sekadar mengangkat cerita mengenai tokoh Sang Kiai, film karya Rako Prijanto ini juga mengangkat peran dan perjuangan SANG KIAI di era 1942 sampai 1947 lewat Resolusi Jihad-nya serta perjuangan orang-orang di sekitarnya. K.H. Wahid Hasyim, putra Sang Kiai, bersama-sama dengan para santri, yang dikomandoi oleh Harun berusaha mencari jalan keluar dengan caranya masing-masing untuk membebaskan Sang Kiai dari tangkapan serdadu Jepang.
Cara diplomasi yang dijalankan putra Sang Kiai ternyata sangat berbeda dengan Harun yang lebih memilih cara emosional anak muda yang berapi-api. Tekad yang kuat membela agama dan bangsa yang dicabik-cabik penjajah mendorong Harun bersama dua sahabatnya, Hamzah dan Abdi berjuang sampai ke Surabaya.
"Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia peranan kaum agamis kurang terangkat, sementara kaum ini memiliki andil yang sangat besar. Bahkan dasar negara Pancasila dalam sila pertama menyebutkan Ketuhanan yang Maha Esa yang berarti bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis," ujar Rako Prijanto, sutradara sekaligus penggagas film SANG KIAI.
Sementara menurut Gope T. Samtani, produser film ini, cerita tokoh kepahlawanan dari sejarah jarang ditampilkan sehingga nyaris kalah dengan cerita kepahlawanan fiksi dari luar negeri. Hal inilah yang menarik perhatian Gope untuk mengangkat cerita seorang Pahlawan Nasional.
Menampilkan sederetan aktor dan aktris papan atas dengan kemampuan akting yang tidak diragukan lagi seperti Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken, Dimas Aditya, serta pendatang baru Meriza Febriani.
“Tidak ada kandidat lain kecuali Ikranagara untuk memerankan karakter K.H. Hasyim Asy’ari. Karena disamping secara usia mendekati real karakternya, keadaan fisik dan wajah yang bisa didekatkan ke karakter juga kemampuan aktingnya. Kendala terberat karena ini film sejarah yang tokoh karakternya pernah hidup maka kita harus mencari semirip mungkin tapi juga harus professional,” jelas Rako.
Memakan waktu cukup panjang dalam menyelesaikan film ini. Shooting kurang lebih 60 hari, 2,5 tahun untuk pra-production serta 6 bulan masa post production. Persiapan 2,5 tahun ini dikarenakan pesiapannya dalam mencari bahan informasi, pencarian lokasi, pemain yang sesuai dengan karakter. Syuting film berlatar belakang tahun 1940-an ini mengambil lokasi di Kediri, Gondang, Magelang, Ambarawa dan Semarang.
Film ini menjadi lebih istimewa dengan hadirnya suara grup band papan atas, Ungu, yang akan mengisisoundtrack-nya. Khusus untuk film ini, Ungu menciptakan dua judul lagu berjudul Bila Tiba dan Bunga.
"Hadirnya film SANG KIAI ini diharapkan tak hanya sekadar menghibur dan mendidik saja, namun juga bagi generasi muda khususnya dapat mengenal siapa K.H. Hasyim Asy’ari dan memahami bagaimanapemikiran dan perjuangan beliau untuk agama dan bangsa Indonesia.
Saksikan film SANG KIAI di seluruh bioskop Indonesia mulai 30 Mei 2013!
Label:
Agama,
bangsa,
diplomasi,
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari,
Indonesia,
Jombang,
kemerdekaan,
kharismatik,
kolosal,
Pancasila,
perjuangan,
Rako Prijanto,
Resolusi Jihad,
Sang Kiai,
sejarah,
Tebuireng
Kamis, 06 September 2012
BNPT: 86% Mahasiswa 5 Universitas Kenamaan di Jawa Tidak Lagi Menerima Pancasila
Banyak tempat ibadah dan universitas yang saat ini telah dikooptasi oleh kaum radikalisme. Tak hanya itu, kampus juga menjadi sasaran empuk untuk proses regenerasi kaum radikalisme.
"Hasil penelitian, banyak tempat ibadah yang dikooptasi kaum radikal. Kampus juga kewalahan radikalisme di kampus," ujar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai.
Ansyaad menyampaikan hal ini dalam rapat Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) Tahun Anggaran 2013 bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (6/9/2012).
Ansyaad kemudian menyampaikan sebuah fakta yang mengejutkan. Dimana 86 % mahasiswa di 5 universitas kenamaan di Pulau Jawa tidak lagi menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
"Kampus juga kewalahan menghadapi radikalisme di kampus. Hasil penelitian LIPI 5 universitas ternama di Jawa, 86 % mahasiswanya menolak Pancasila sebagai dasar negara," lanjutnya.
Tak hanya universitas, Ansyaad mengungkapkan bahwa para siswa sekolah menengah ke atas juga tak luput dari gerakan radikalisme.
"Yang namanya Rohis SMA, di Jaksel, Jakut, dan Bandung, sudah dibawah pengaruh NII," ujar Ansyaad.
Untuk itu, Ansyaad menegaskan pihaknya ingin melindungi negara ini dari gerakan-gerakan radikalisme.
"Kita ingin melindungi, jangan sampai terkooptasi radikalisme. Jangan sampai tempat ibadah dikooptasi radikalisme. Kita lakukan hari ini, jangan tanya hasilnya besok. Ini proses yang panjang," pungkasnya.
"Hasil penelitian, banyak tempat ibadah yang dikooptasi kaum radikal. Kampus juga kewalahan radikalisme di kampus," ujar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai.
Ansyaad menyampaikan hal ini dalam rapat Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) Tahun Anggaran 2013 bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (6/9/2012).
Ansyaad kemudian menyampaikan sebuah fakta yang mengejutkan. Dimana 86 % mahasiswa di 5 universitas kenamaan di Pulau Jawa tidak lagi menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
"Kampus juga kewalahan menghadapi radikalisme di kampus. Hasil penelitian LIPI 5 universitas ternama di Jawa, 86 % mahasiswanya menolak Pancasila sebagai dasar negara," lanjutnya.
Tak hanya universitas, Ansyaad mengungkapkan bahwa para siswa sekolah menengah ke atas juga tak luput dari gerakan radikalisme.
"Yang namanya Rohis SMA, di Jaksel, Jakut, dan Bandung, sudah dibawah pengaruh NII," ujar Ansyaad.
Untuk itu, Ansyaad menegaskan pihaknya ingin melindungi negara ini dari gerakan-gerakan radikalisme.
"Kita ingin melindungi, jangan sampai terkooptasi radikalisme. Jangan sampai tempat ibadah dikooptasi radikalisme. Kita lakukan hari ini, jangan tanya hasilnya besok. Ini proses yang panjang," pungkasnya.
Label:
Ansyaad Mbai,
BNPT,
dasar negara,
DPR-RI,
ibadah,
Jawa,
Komisi III,
LIPI,
mahasiswa,
NII,
Pancasila,
radikalisme,
Renja-KL,
SMA,
terkooptasi,
Universitas
Sabtu, 21 Juli 2012
Foke: Kecam Simpatisan Dengan Isu SARA
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengecam pihak-pihak yang bermanuver dengan menggunakan isu SARA untuk menyerang pihak lain. Ia menegaskan, dukungan kepada dirinya sebaiknya tidak dilakukan dengan cara-cara negatif.
"Saya kecam keras dan melarang mereka yang simpati pada saya dengan menggunakan isu (SARA) ini, walaupun barangkali dalam rangka untuk memenangkan seseorang pada putaran kedua Pilkada DKI 20 September nanti," ujar Fauzi, sebelum menghadiri Shalat Taraweh di Masjid Tangkuban Perahu, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (20/7/2012) malam.
Sebagai calon petahana dalam Pilkada DKI Jakarta, Foke menginginkan semua pendukungkan menggunakan cara-cara kampanye positif dan tidak menimbulkan keresahan di tengah warga. Apalagi, memainkan isu SARA sangat rentan berbuah gangguan keamanan.
"Saya sangat prihatin dan mengecam dikembangkannya isu SARA saat ini oleh siapapun tanpa terkecuali. Karena sudah jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45," tegas Foke.
Ia mengimbau apa yang ditegaskan malam ini bisa disampaikan kepada seluruh warga Jakarta. Selain tidak sejalan dengan norma berbangsa, mendiskreditkan pihak lain dengan isu SARA tidak sejalan dengan ajaran agama manapun.
"Sampaikan pesan ini pada seluruh warga Jakarta. Bagi umat Islam, (bermain isu SARA) juga tidak sejalan dengan ajaran agama," tutur pasangan Nachrowi Ramli dalam Pilkada DKI 2012.
Sebagaimana diberitakan, serangan berbau SARA terhadap pasangan yang menjadi saingan Foke-Nara sempat berkembang melalui berbagai media sosial. Serangan muncul setelah putaran pertama Pilkada DKI menunjukkan dua pasangan yang akan lolos ke putaran berikutnya.
Dengan demikian, banyak pihak mengarahkan dugaan bahwa penyebar isu SARA tersebut adalah pendukung pasangan Foke-Nara. Melalui pernyataan ini, Foke berharap isu SARA bernada menyerang pihak lawan tak lagi dilanjutkan. Sekaligus, ia mengingatkan warga agar tidak mudah percaya atau terpengaruh dengan isu-isu tersebut.
"Saya kecam keras dan melarang mereka yang simpati pada saya dengan menggunakan isu (SARA) ini, walaupun barangkali dalam rangka untuk memenangkan seseorang pada putaran kedua Pilkada DKI 20 September nanti," ujar Fauzi, sebelum menghadiri Shalat Taraweh di Masjid Tangkuban Perahu, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (20/7/2012) malam.
Sebagai calon petahana dalam Pilkada DKI Jakarta, Foke menginginkan semua pendukungkan menggunakan cara-cara kampanye positif dan tidak menimbulkan keresahan di tengah warga. Apalagi, memainkan isu SARA sangat rentan berbuah gangguan keamanan.
"Saya sangat prihatin dan mengecam dikembangkannya isu SARA saat ini oleh siapapun tanpa terkecuali. Karena sudah jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45," tegas Foke.
Ia mengimbau apa yang ditegaskan malam ini bisa disampaikan kepada seluruh warga Jakarta. Selain tidak sejalan dengan norma berbangsa, mendiskreditkan pihak lain dengan isu SARA tidak sejalan dengan ajaran agama manapun.
"Sampaikan pesan ini pada seluruh warga Jakarta. Bagi umat Islam, (bermain isu SARA) juga tidak sejalan dengan ajaran agama," tutur pasangan Nachrowi Ramli dalam Pilkada DKI 2012.
Sebagaimana diberitakan, serangan berbau SARA terhadap pasangan yang menjadi saingan Foke-Nara sempat berkembang melalui berbagai media sosial. Serangan muncul setelah putaran pertama Pilkada DKI menunjukkan dua pasangan yang akan lolos ke putaran berikutnya.
Dengan demikian, banyak pihak mengarahkan dugaan bahwa penyebar isu SARA tersebut adalah pendukung pasangan Foke-Nara. Melalui pernyataan ini, Foke berharap isu SARA bernada menyerang pihak lawan tak lagi dilanjutkan. Sekaligus, ia mengingatkan warga agar tidak mudah percaya atau terpengaruh dengan isu-isu tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)