Malang (Antara) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan sebaiknya pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi maupun wali kota/bupati dikembalikan lagi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
"Secara substansi memang akan lebih baik dikembalikan lagi ke DPRD, sebab pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung itu lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya," tegas Mahfud MD disela-sela silaturahmi dengan wartawan di Malang, Minggu.
Ia mencontohkan, pilkada untuk memilih gubernur. Jika anggota DPRD-nya 100 orang, untuk memenangkan pilkada cukup hanya menggenggam 51 suara dan anggaran yang dikeluarkan juga tidak banyak, cukup 51 wakil rakyat untuk mengamankan suaranya. Selanjutnya *
Tampilkan postingan dengan label Mahfud MD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mahfud MD. Tampilkan semua postingan
Minggu, 13 Oktober 2013
Selasa, 08 Oktober 2013
Mahfud MD Siap Potong Tangan & Leher bila Terima Suap
JAKARTA – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, mengaku siap dipenggal apabila benar-benar menerima suap seperti yang dituduhkan calon bupati yang kalah pada Pemilu Kepala Daerah Mandailing Natal, Sumatera Utara, Irwan H Daulay. Mahfud mengaku siap mengganti uang Rp3 miliar seperti yang dituduhkan Irwan H Daulay saat ini juga.
"Hari ini juga saya akan ganti, saya punya uang Rp6 miliar, rumah, atau mobil. Kalau benar saya terima, saya akan ganti. Saya (siap) potong tangan dan potong leher," kata Mahfud di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (7/10/2013). Selanjutnya *
"Hari ini juga saya akan ganti, saya punya uang Rp6 miliar, rumah, atau mobil. Kalau benar saya terima, saya akan ganti. Saya (siap) potong tangan dan potong leher," kata Mahfud di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (7/10/2013). Selanjutnya *
Senin, 09 September 2013
Lagi-Lagi Jokowi, Ungguli SBY dan Megawati
JAKARTA - Pemberitaan wacana pencalonan Joko Widodo (Jokowi) versi penelitian Indonesia Indicator mendominasi ekspose berita Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepanjang 2013.
"Tercatat pada Januari, Mei, Agustus, dan September pemberitaan Jokowi menyamai. bahkan mengungguli Presiden SBY," kata Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Minggu (8/9).
Peringkat pemberitaan Jokowi memuncak terkait dengan puncak isu pencalonan presiden sebanyak 6.727 berita, SBY (5.608 berita), Aburizal Bakrie (2.995 berita), Prabowo S (2.278 berita), Jusuf Kalla (2.177 berita), Mahfud MD(2.085 berita), Megawati (2.048 berita), Dahlan Iskan (1.980 berita), Gita Wirjawan (1.819 berita) dan Marzuki Alie (1.680 berita). Selanjutnya *
"Tercatat pada Januari, Mei, Agustus, dan September pemberitaan Jokowi menyamai. bahkan mengungguli Presiden SBY," kata Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Minggu (8/9).
Peringkat pemberitaan Jokowi memuncak terkait dengan puncak isu pencalonan presiden sebanyak 6.727 berita, SBY (5.608 berita), Aburizal Bakrie (2.995 berita), Prabowo S (2.278 berita), Jusuf Kalla (2.177 berita), Mahfud MD(2.085 berita), Megawati (2.048 berita), Dahlan Iskan (1.980 berita), Gita Wirjawan (1.819 berita) dan Marzuki Alie (1.680 berita). Selanjutnya *
Label:
Aburizal Bakrie,
Agustus,
Dahlan Iskan,
Indonesia Indicator,
Januari,
Joko Widodo,
Jokowi,
Jusuf Kalla,
Lagi-Lagi,
Mahfud MD,
Megawati,
Mei,
Prabowo S,
Rustika Herlambang,
SBY,
September,
Ungguli
Selasa, 02 Juli 2013
Dibandingkan Jokowi, Pramono Edhie Enggak Ada Apa-Apanya
Politisi Demokrat Ruhut Sitompul menilai, sebagai calon presiden, Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo lebih baik dibanding Gubernur DKI Joko Widodo alias Jokowi. Namun, peneliti senior bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, tak sepakat dengan penilaian tersebut.
"Enggak ada apa-apanya Pramono Edhie dibanding Jokowi. Prestasi yang ditunjukan Pramono apa? Walaupun sempat jadi KSAD, enggak ada yang menonjol dari prestasi beliau, kecuali dikenal sebagai adik ipar SBY. Popularitas beliau lebih kepada adik Ani Yudhoyono saja," tutur Syamsuddin di Jakarta, Senin (1/7/2013).
Sebelumnya, sejumlah survei menempatkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi di urutan teratas. Salah satunya, survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dirilis 26 Mei lalu, yang menempatkan pria asal Solo itu di urutan teratas dalam hasil survei sebagai calon presiden di Pemilu 2014.
Jokowi unggul di atas nama-nama lainnya, seperti Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Pramono Edhie Wibowo, Djoko Suyanto, dan Gita Wirjawan.
Sentimen negatif
Selain itu, Syamsuddin juga menyoroti dampak kehadiran Pramono Edhie di internal partai. Bergabungnya Pramono Edhie bisa menimbulkan sentimen negatif di internal Partai Demokrat maupun masyarakat. Pasalnya, adik ipar Susilo Bambang Yudhoyono itu mendapat perlakuan istimewa di Demokrat.
"Jangan-jangan sentimennya malah negatif. Kok nepotisme lagi, kok keluarga lagi yang dapat posisi Dewan Pembina?," tuturnya.
Menurutnya, kalangan internal Demokrat bisa saja tidak nyaman dengan perlakuan Pramono. Banyak kader Demokrat harus melewati kepengurusan dari bawah untuk mendapat posisi strategis.
Posisi Dewan Pembina, kata dia, merupakan posisi istimewa. Semestinya, hanya mereka yang berjasa bagi partai bisa mendapat posisi tersebut. Dengan demikian, Syamsuddin meyakini kehadiran mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu tidak akan meningkatkan elektabilitas Demokrat.
"Enggak ada apa-apanya Pramono Edhie dibanding Jokowi. Prestasi yang ditunjukan Pramono apa? Walaupun sempat jadi KSAD, enggak ada yang menonjol dari prestasi beliau, kecuali dikenal sebagai adik ipar SBY. Popularitas beliau lebih kepada adik Ani Yudhoyono saja," tutur Syamsuddin di Jakarta, Senin (1/7/2013).
Sebelumnya, sejumlah survei menempatkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi di urutan teratas. Salah satunya, survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dirilis 26 Mei lalu, yang menempatkan pria asal Solo itu di urutan teratas dalam hasil survei sebagai calon presiden di Pemilu 2014.
Jokowi unggul di atas nama-nama lainnya, seperti Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Pramono Edhie Wibowo, Djoko Suyanto, dan Gita Wirjawan.
Sentimen negatif
Selain itu, Syamsuddin juga menyoroti dampak kehadiran Pramono Edhie di internal partai. Bergabungnya Pramono Edhie bisa menimbulkan sentimen negatif di internal Partai Demokrat maupun masyarakat. Pasalnya, adik ipar Susilo Bambang Yudhoyono itu mendapat perlakuan istimewa di Demokrat.
"Jangan-jangan sentimennya malah negatif. Kok nepotisme lagi, kok keluarga lagi yang dapat posisi Dewan Pembina?," tuturnya.
Menurutnya, kalangan internal Demokrat bisa saja tidak nyaman dengan perlakuan Pramono. Banyak kader Demokrat harus melewati kepengurusan dari bawah untuk mendapat posisi strategis.
Posisi Dewan Pembina, kata dia, merupakan posisi istimewa. Semestinya, hanya mereka yang berjasa bagi partai bisa mendapat posisi tersebut. Dengan demikian, Syamsuddin meyakini kehadiran mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu tidak akan meningkatkan elektabilitas Demokrat.
Label:
Ani Yudhoyono,
CSIS,
Dahlan Iskan,
Djoko Suyanto,
Enggak Ada Apa-Apanya,
Gita Wirjawan,
Jokowi,
KSAD,
LIPI,
Mahfud MD,
negatif,
Pramono Edhie Wibowo,
sentimen,
Sri Sultan HB X,
Syamsuddin Haris
Minggu, 02 Juni 2013
Tolak Pemimpin yang Tidak Pancasilais
JAKARTA - Rakyat harus menolak calon legislatif (Caleg), dan Capres, yang jejak rekamnya tidak Pancasilais, melainkan kapitalis, impresialis, dan neoliberalisme. Seluruh kebijakan ekonomi, sosial politik, pendidikan, budaya, agama, dan sebagainya harus menjiwai Pancasila.
“Caleg dan Capres 2014 harus-harus benar ditakar jejak rekamnya terhadap pelaksanaan Pancasila, agar tujuan reformasi seperti mewujudkan penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kesejahteraan, keadilan dalam berbangsa, dan bernegara benar-benar terwujud,” ujar pakar hukum tata Negara Margarito Kamis, dalam dialog kepemimpinan bersama Ketua The Presiden Center Eddy Herwani Didied Mahaswara, dan pengamat politik UI Boni Hargens, di Jakarta, Minggu (2/6/2013).
Margarito mengatakan, DPR dan Presiden ke depan bukan mereka yang membiarkan bangsa ini terkepung oleh kapitalisme, neoliberalisme, dan imperialisme selama reformasi ini.
Namun dia masih optimis tokoh seperti mantan Ketua MK Mahfud MD, Rizal Ramli, Jusuf Kalla dan lainnya, akan mempunyai tempat di hati rakyat, juga partai, jika bangsa ini benar-benar ingin maju dan mandiri. Menyuarakan Pancasila itu tak boleh berhenti dan tak putus asa.
Pengamat politik dari UI Boni Hargens menegaskan elite politik, partai politik, dan penyelenggara Negara sekarang ini, produk-produk kebijakan, dan perilakunya tak mencerminkan Pancasila. Pancasila seolah tinggal kemasan, bahkan seperti bangkai yang dibiarkan mati, tanpa semangat dan ruhnya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara ini.
Menurut Boni, Pancasila itu sumber nilai bagi berbagai kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan program pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan Negara. Presiden SBY gagal mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
Menurutnya penghargaan sebagai negarawan dunia dari ACF (Appeal of Conscience Foundation) yang dinilai mampu menjaga toleransi dalam berbangsa, dan bernegara itu merupakan lelucon yang mengerikan.
“Karena pada saat yang sama masih terjadinya perusakan, pembakaran, diskriminasi bahkan pembunuhan terhadap muslim Ahmadiyah, Syiah, dan Gereja-Gereja di Indonesia. Itu semua akibat tak menjadikan Pancasila sebagai spirit dalam berbangsa,” katanya.
Menurut Didied, legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama menyimpang dari Pancasila, dan tak ada lagi yang bisa mengontrol, maka salah satu jalan adalah harus ada gerakan rakyat, meski namanya bukan revolusi.
“Jadi, harus ada gerakan rakyat Indonesia sendiri, untuk menghadapi kondisi pemimpin yang menyimpang dari Pancasila itu,” katanya.
“Caleg dan Capres 2014 harus-harus benar ditakar jejak rekamnya terhadap pelaksanaan Pancasila, agar tujuan reformasi seperti mewujudkan penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kesejahteraan, keadilan dalam berbangsa, dan bernegara benar-benar terwujud,” ujar pakar hukum tata Negara Margarito Kamis, dalam dialog kepemimpinan bersama Ketua The Presiden Center Eddy Herwani Didied Mahaswara, dan pengamat politik UI Boni Hargens, di Jakarta, Minggu (2/6/2013).
Margarito mengatakan, DPR dan Presiden ke depan bukan mereka yang membiarkan bangsa ini terkepung oleh kapitalisme, neoliberalisme, dan imperialisme selama reformasi ini.
Namun dia masih optimis tokoh seperti mantan Ketua MK Mahfud MD, Rizal Ramli, Jusuf Kalla dan lainnya, akan mempunyai tempat di hati rakyat, juga partai, jika bangsa ini benar-benar ingin maju dan mandiri. Menyuarakan Pancasila itu tak boleh berhenti dan tak putus asa.
Pengamat politik dari UI Boni Hargens menegaskan elite politik, partai politik, dan penyelenggara Negara sekarang ini, produk-produk kebijakan, dan perilakunya tak mencerminkan Pancasila. Pancasila seolah tinggal kemasan, bahkan seperti bangkai yang dibiarkan mati, tanpa semangat dan ruhnya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara ini.
Menurut Boni, Pancasila itu sumber nilai bagi berbagai kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan program pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan Negara. Presiden SBY gagal mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
Menurutnya penghargaan sebagai negarawan dunia dari ACF (Appeal of Conscience Foundation) yang dinilai mampu menjaga toleransi dalam berbangsa, dan bernegara itu merupakan lelucon yang mengerikan.
“Karena pada saat yang sama masih terjadinya perusakan, pembakaran, diskriminasi bahkan pembunuhan terhadap muslim Ahmadiyah, Syiah, dan Gereja-Gereja di Indonesia. Itu semua akibat tak menjadikan Pancasila sebagai spirit dalam berbangsa,” katanya.
Menurut Didied, legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama menyimpang dari Pancasila, dan tak ada lagi yang bisa mengontrol, maka salah satu jalan adalah harus ada gerakan rakyat, meski namanya bukan revolusi.
“Jadi, harus ada gerakan rakyat Indonesia sendiri, untuk menghadapi kondisi pemimpin yang menyimpang dari Pancasila itu,” katanya.
Label:
Boni Hargens,
Caleg,
impresialis,
kapitalis,
kepemimpinan,
Mahfud MD,
Margarito Kamis,
mengontrol,
neoliberalisme,
Pancasila,
Pancasilais,
pemimpin,
reformasi,
sumber nilai,
The Presiden Center,
tolak
Rabu, 08 Agustus 2012
CSIS: Mega Terpopuler, Prabowo Capres Favorit
Survei terbaru Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) menempatkan Megawati Soekarnoputri sebagai tokoh politik terpopuler. Popularitasnya mencapai 94,4 persen mengalahkan sejumlah tokoh besar lainnya.
Posisi berikutnya ditempati Jusuf Kalla dengan tingkat popularitas 90,3 persen. Wiranto 75,7 persen. Prabowo 74,3 persen. Aburizal Bakrie 68,4 persen. Ani Yudhoyono 66,7 persen. Hatta Rajasa 52,9 persen. Anas Urbaningrum 53 persen. Hidayat Nur Wahid 43,7 persen. Mahfud MD 29,3 persen. Dahlan Iskan 22,1 persen.
Tingginya popularitas rupanya tak menjamin masyarakat memilihnya sebagai presiden. Ini terbukti dengan hasil survei yang menempatkan sosok Prabowo Subianto sebagai calon presiden terfavorit. Bukan Megawati.
Prabowo mendapat dukungan 14,5 persen dari total 1.480 responden. Megawati 14,4 persen. Jusuf Kalla 11,1 persen. Aburizal Bakrie 8,9 persen. Wiranto 4,1 persen. Sri Sultan 2,4 persen. Hatta Rajasa 1,6 persen. Ani Yudhoyono 1,6 persen. Hidayat Nur Wahid 1,5 persen. Mahfud MD 1,4 persen. Dahlan Iskan 1,2 persen. Anas Urbaningrum 0,8 persen.
"Survei ini memperlihatkan tren menguatnya dukungan bagi Prabowo," kata Peneliti CSIS, Philips Vermont, di kantornya, Rabu 8 Agustus 2012.
CSIS lantas meminta responden memilih antara Prabowo dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebanyak 44 persen responden memilih Prabowo. Sementara hanya 18 persen yang memilih SBY. "Jawaban ini, memperlihatkan bahwa Prabowo dianggap sebagai alternatif SBY. Namun, perlu dicatat, masih ada 31 persen yang belum memiliki pilihan," kata Philips.
Rendahnya jumlah responden yang menginginkan SBY sebagai presiden bisa jadi akibat sentimen masyarakat terhadap pemerintah yang cenderung tinggi. Sebanyak 77 persen responden menilai pejabat pemerintah terlibat korupsi. Hanya 12 persen yang percaya pejabat bersih. Sementara 11 persen menyatakan tidak tahu.
Sebanyak 64 persen responden juga menilai pemerintah saat ini tidak tegas. Dan, 57 persen responden menilai pemerintah tidak peduli terhadap rakyat.
Selain membandingkan dengan SBY, CSIS membuat beberapa skenario untuk mengukur kekuatan dukungan Prabowo. CSIS menyodorkan tiga nama, yaitu Prabowo, Ical dan Ani Yudhoyono. Hasilnya, Prabowo tetap mendapat dukungan paling tinggi, yaitu 38,5 persen. Ical 17,8 persen. Ani Yudhoyono hanya 4,6 persen.
Sekenario lain. CSIS menyodorkan Prabowo, Megawati dan Ical. Hasilnya, Prabowo tetap memperoleh dukungan paling tinggi, yaitu 29,7 persen. Megawati 20 persen. Ical 16.9 persen.
Sekenario terakhir membandingkan Prabowo, Megawati dan Jusuf Kalla. Lagi-lagi, Prabowo mendapatkan dukungan tertinggi 29,2 persen, Megawati 19,3 persen, dan Jusuf Kalla 20,1 persen.
Posisi berikutnya ditempati Jusuf Kalla dengan tingkat popularitas 90,3 persen. Wiranto 75,7 persen. Prabowo 74,3 persen. Aburizal Bakrie 68,4 persen. Ani Yudhoyono 66,7 persen. Hatta Rajasa 52,9 persen. Anas Urbaningrum 53 persen. Hidayat Nur Wahid 43,7 persen. Mahfud MD 29,3 persen. Dahlan Iskan 22,1 persen.
Tingginya popularitas rupanya tak menjamin masyarakat memilihnya sebagai presiden. Ini terbukti dengan hasil survei yang menempatkan sosok Prabowo Subianto sebagai calon presiden terfavorit. Bukan Megawati.
Prabowo mendapat dukungan 14,5 persen dari total 1.480 responden. Megawati 14,4 persen. Jusuf Kalla 11,1 persen. Aburizal Bakrie 8,9 persen. Wiranto 4,1 persen. Sri Sultan 2,4 persen. Hatta Rajasa 1,6 persen. Ani Yudhoyono 1,6 persen. Hidayat Nur Wahid 1,5 persen. Mahfud MD 1,4 persen. Dahlan Iskan 1,2 persen. Anas Urbaningrum 0,8 persen.
"Survei ini memperlihatkan tren menguatnya dukungan bagi Prabowo," kata Peneliti CSIS, Philips Vermont, di kantornya, Rabu 8 Agustus 2012.
CSIS lantas meminta responden memilih antara Prabowo dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebanyak 44 persen responden memilih Prabowo. Sementara hanya 18 persen yang memilih SBY. "Jawaban ini, memperlihatkan bahwa Prabowo dianggap sebagai alternatif SBY. Namun, perlu dicatat, masih ada 31 persen yang belum memiliki pilihan," kata Philips.
Rendahnya jumlah responden yang menginginkan SBY sebagai presiden bisa jadi akibat sentimen masyarakat terhadap pemerintah yang cenderung tinggi. Sebanyak 77 persen responden menilai pejabat pemerintah terlibat korupsi. Hanya 12 persen yang percaya pejabat bersih. Sementara 11 persen menyatakan tidak tahu.
Sebanyak 64 persen responden juga menilai pemerintah saat ini tidak tegas. Dan, 57 persen responden menilai pemerintah tidak peduli terhadap rakyat.
Selain membandingkan dengan SBY, CSIS membuat beberapa skenario untuk mengukur kekuatan dukungan Prabowo. CSIS menyodorkan tiga nama, yaitu Prabowo, Ical dan Ani Yudhoyono. Hasilnya, Prabowo tetap mendapat dukungan paling tinggi, yaitu 38,5 persen. Ical 17,8 persen. Ani Yudhoyono hanya 4,6 persen.
Sekenario lain. CSIS menyodorkan Prabowo, Megawati dan Ical. Hasilnya, Prabowo tetap memperoleh dukungan paling tinggi, yaitu 29,7 persen. Megawati 20 persen. Ical 16.9 persen.
Sekenario terakhir membandingkan Prabowo, Megawati dan Jusuf Kalla. Lagi-lagi, Prabowo mendapatkan dukungan tertinggi 29,2 persen, Megawati 19,3 persen, dan Jusuf Kalla 20,1 persen.
Label:
Aburizal Bakrie,
Anas Urbaningrum,
Ani Yudoyono.Hatta Rajasa,
capres,
CSIS,
Dahlan Iskan,
dukungan,
favorit,
Hidayat Nur Wahid,
Jusuf Kalla,
kekuatan,
Mahfud MD,
Mega,
Prabowo,
terpopuler,
Wiranto
Langganan:
Postingan (Atom)