Jumat, 21 Juni 2013
Jusuf Kalla Kritik Pengeras Suara Masjid Indonesia
Banjarmasin (ANTARA) - Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla mengkritik bahwa sebagian besar sistem pengeras suara di masjid Indonesia kurang bagus, sehingga tidak enak untuk didengarkan.
Kritikan tersebut disampaikan Kalla, saat memberikan sambutan pada peresmian Masjid Hasanudin Mandjedi di Banjarmasin, Jumat, yang juga dihadiri oleh Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin, anggota DPR RI Gusti Iskandar Sukma Almasyah, Ketua DPRD Kalsel Nasib Alamsyah, dan unsur Muspida serta ratusan masyarakat sekitar.
"Kalau pengeras suara di masjid ini sudah relatif bagus, namun tetap harus diperbaiki, sedangkan di masjid-masjid lain masih cukup banyak sistem pengeras suaranya justru membuat telinga sakit, dan suara yang keluar tidak bisa didengar," ucapnya.
Kondisi tersebut terjadi, kata dia, karena pemasangan pengeras suara tersebut tidak fokus, ada yang menghadap kesamping kiri, kesamping kanan, dan kemana-mana, sehingga suara menjadi pecah.
Apalagi, tambah dia, bila masjid yang dibangun dengan dinding marmer dan kaca, suara akan mantul, sehingga sulit untuk di dengar, akibatnya jamaah tidak bisa mendengarkan dengan maksimal.
Berkaitan dengan hal itu, kata Kalla, dewan masjid kini memprogramkan untuk memperbaiki sistem pengeras suara di seluruh masjid Indonesia dengan target 1.500 masjid per tahun.
"Program tersebut mungkin terdengar sederhana, tetapi itu sangat penting, karena 80 persen kegiatan di masjid itu adalah mendengarkan, sedangkan 10 persen sujud dan 10 persennya lagi untuk doa," tuturnya.
Label:
Banjarmasin,
Dewan Masjid Indonesia,
Indonesia,
Jusuf Kalla,
Kritik,
Masjid,
Masjid Hasanudin Mandjedi,
Pengeras Suara,
sulit didengar,
telinga sakit
Kamis, 20 Juni 2013
SBY Dinilai Terlalu Gemar Terima Penghargaan
JAKARTA - Meskipun diprotes sejumlah kalangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya menerima penghargaan 2013 World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation (AoCF) di Garden Foyer, Hotel The Pierre, New York, Amerika Serikat, Jumat (31/5/2013), waktu Indonesia.
Ketua Setara Institute Hendardi dalam rilisnya mengatakan memberi dan menerima itu adalah hak dan jelas tidak bisa dihalang-halangi.
"Namun, sebagai pejabat publik, di mana penghargaan tersebut berhubungan dengan kinerjanya sebagai Presiden RI, SBY semestinya tidak terlalu mudah menerima sebuah penghargaan," kata Hendardi.
Menurut dia penghargaan diperoleh SBY tidak berbanding lurus dengan kinerja yang dilakukannya terkait pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan justru telah mencoreng wajah Indonesia.
Dia menilai SBY terlalu gemar menerima penghargaan inilah yang harus menjadi bahan koreksi dan introspeksi para pejabat publik.
"Penghargaan tersebut tidak akan banyak manfaat untuk Indonesia dan diplomasi politik luar negeri Indonesia," kata dia.
Menurut Hendardi ini justru merupakan tamparan bagi korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kelompok minoritas lainnya.
"Kekhawatiran justru muncul, bahwa penghargaan ini akan menjadi alat proteksi bagi SBY atas kelemahan kinerjanya dalam pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan dan pemajuan HAM pada umumnya," kata Hendardi.
Ketua Setara Institute Hendardi dalam rilisnya mengatakan memberi dan menerima itu adalah hak dan jelas tidak bisa dihalang-halangi.
"Namun, sebagai pejabat publik, di mana penghargaan tersebut berhubungan dengan kinerjanya sebagai Presiden RI, SBY semestinya tidak terlalu mudah menerima sebuah penghargaan," kata Hendardi.
Menurut dia penghargaan diperoleh SBY tidak berbanding lurus dengan kinerja yang dilakukannya terkait pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan justru telah mencoreng wajah Indonesia.
Dia menilai SBY terlalu gemar menerima penghargaan inilah yang harus menjadi bahan koreksi dan introspeksi para pejabat publik.
"Penghargaan tersebut tidak akan banyak manfaat untuk Indonesia dan diplomasi politik luar negeri Indonesia," kata dia.
Menurut Hendardi ini justru merupakan tamparan bagi korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kelompok minoritas lainnya.
"Kekhawatiran justru muncul, bahwa penghargaan ini akan menjadi alat proteksi bagi SBY atas kelemahan kinerjanya dalam pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan dan pemajuan HAM pada umumnya," kata Hendardi.
Label:
beragama,
berbanding lurus,
berkeyakinan,
Dinilai,
Gemar,
HAM,
Hendardi,
introspeksi,
kinerja,
korban,
koreksi,
penghargaan,
proteksi,
SBY,
Setara Institute,
tamparan,
Terima,
Terlalu,
World Statesman Award
Cara Jokowi-Ahok Taklukkan Wakil Rakyat
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Dodi Ambardi menilai Gubernur Joko Widodo, bersama Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" , memiliki gaya kepemimpinan yang unik. Mereka dinilai berhasil menjadi pemerintahan yang bisa menaklukan legislatif dengan cukup mudah. "Dia memenangkan hati publik dan mengalahkan DPRD dengan mudah," katanya kepada Tempo.
Dodi menilai, kepemimpinan Jokowi-Ahok di Jakarta menjadi contoh baru bagaimana seharusnya sikap eksekutif dalam menjalankan pemerintahan. Mereka dinilai bisa meyakinkan wakil rakyat untuk bisa mengikuti agenda yang dijalankan oleh pemerintah dengan baik. "Dan memang Jokowi mampu melakukan itu," ujar dia.
Dodi pun memberikan kredit tersendiri kepada Ahok dalam hal menaklukkan DPRD. Gayanya yang cenderung konfrontatif dinilai sebagai gaya berbeda dari yang selama ini diketahui publik. Bagi kalangan tertentu, sikap konfrontatif Ahok dinilai tidak sopan karena DPRD adalah mitra kerja dari pemerintah.
Tapi bagi masyarakat kelas menengah ke atas dan kaum terpelajar, sikap Ahok menarik untuk diperhatikan. Soalnya, sikap tersebut mampu memberikan hawa baru untuk gaya kepemimpinan di Indonesia. Bahkan sikap itu disebut Dodi membuat citra Ahok yang kurang disukai menjadi orang yang menarik untuk diperhatikan.
"Dan dia selalu mengejutkan dengan pernyataan dan gayanya," kata Dodi. Bahkan, kata dia, Ahok juga kerap menantang DPRD untuk membahas secara terbuka program-program yang dimiliki pemerintah saat hendak mengajukan Hak Interpelasi. "Tapi Ahok malah menantang dan bilang "Apa sih mau interpelasi segala, belagu!". Mana ada politisi yang berani seperti itu"" lanjutnya.
Secara politik, Dodi menilai Jokowi-Ahok telah berhasil memenangi hati publik. Hal itu berbeda dengan kondisi yang dihadapi oleh pemerintah pusat saat berhadapan dengan DPR RI. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM kerap maju mundur saat politikus Senayan berteriak-teriak menolak rencana tersebut. Bahkan Setgab yang dibentuk untuk memuluskan program pemerintah juga tidak berjalan secara efektif.
"Tapi Jokowi-Ahok datang, DPRD Jakarta kalah dengan mudah dan tidak berkutik, itu kan prestasi besar," ujarnya. Keberhasilan itu dianggap satu dari beberapa keberhasilan eksekutif dalam menaklukan legislatif. Satu-satunya kepala pemerintahan yang juga berhasil menaklukkan legislatif adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. "Dia juga menantang DPRD dan menang, " kata Dodi.
Dodi menilai, kepemimpinan Jokowi-Ahok di Jakarta menjadi contoh baru bagaimana seharusnya sikap eksekutif dalam menjalankan pemerintahan. Mereka dinilai bisa meyakinkan wakil rakyat untuk bisa mengikuti agenda yang dijalankan oleh pemerintah dengan baik. "Dan memang Jokowi mampu melakukan itu," ujar dia.
Dodi pun memberikan kredit tersendiri kepada Ahok dalam hal menaklukkan DPRD. Gayanya yang cenderung konfrontatif dinilai sebagai gaya berbeda dari yang selama ini diketahui publik. Bagi kalangan tertentu, sikap konfrontatif Ahok dinilai tidak sopan karena DPRD adalah mitra kerja dari pemerintah.
Tapi bagi masyarakat kelas menengah ke atas dan kaum terpelajar, sikap Ahok menarik untuk diperhatikan. Soalnya, sikap tersebut mampu memberikan hawa baru untuk gaya kepemimpinan di Indonesia. Bahkan sikap itu disebut Dodi membuat citra Ahok yang kurang disukai menjadi orang yang menarik untuk diperhatikan.
"Dan dia selalu mengejutkan dengan pernyataan dan gayanya," kata Dodi. Bahkan, kata dia, Ahok juga kerap menantang DPRD untuk membahas secara terbuka program-program yang dimiliki pemerintah saat hendak mengajukan Hak Interpelasi. "Tapi Ahok malah menantang dan bilang "Apa sih mau interpelasi segala, belagu!". Mana ada politisi yang berani seperti itu"" lanjutnya.
Secara politik, Dodi menilai Jokowi-Ahok telah berhasil memenangi hati publik. Hal itu berbeda dengan kondisi yang dihadapi oleh pemerintah pusat saat berhadapan dengan DPR RI. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM kerap maju mundur saat politikus Senayan berteriak-teriak menolak rencana tersebut. Bahkan Setgab yang dibentuk untuk memuluskan program pemerintah juga tidak berjalan secara efektif.
"Tapi Jokowi-Ahok datang, DPRD Jakarta kalah dengan mudah dan tidak berkutik, itu kan prestasi besar," ujarnya. Keberhasilan itu dianggap satu dari beberapa keberhasilan eksekutif dalam menaklukan legislatif. Satu-satunya kepala pemerintahan yang juga berhasil menaklukkan legislatif adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. "Dia juga menantang DPRD dan menang, " kata Dodi.
Label:
BBM,
berhasil,
cara,
contoh baru,
Dodi Ambardi,
DPR RI,
DPRD,
eksekutif,
hawa baru,
Jokowi-Ahok,
kepemimpinan,
konfrontatif,
Lembaga Survei Indonesia,
publik,
rakyat,
taklukkan,
unik,
wakil
Rabu, 19 Juni 2013
Dipta, Istri Djoko Susilo Punya Aset Miliaran
Dipta Anindita, istri ketiga Djoko Susilo, memiliki deretan aset berupa beberapa rumah tinggal bernilai miliaran rupiah. Nilai itu disampaikan oleh beberapa orang saksi yang dihadirkan dalam persidangan pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Keterangan mengenai salah satu aset Dipta di Jakarta, diungkapkan oleh saksi Baharatmo Prawiro Utomo. Dia menjelaskan Erick Maliangkay selaku notaris yang menerima kuasa dari Dipta menyatakan niatnya membeli tanah dan rumah seluas 246 meter persegi milik Baharatmo pada 2011. Rumah tersebut terletak di Jalan Cikajang Nomor 18 Jakarta Selatan. "Akhirnya terjadi kesepakatan harga senilai Rp 6,35 miliar dengan Rp 100 juta sebagai uang muka," kata dia.
Di Semarang, dalam persidangan yang sama, Manajer Pemasaran PT Graha Perdana Indah Wibowo Tejosukmono mengatakan pernah didatangi Dipta dan tiga orang laki-laki yang dua di antaranya merupakan Erick Maliangkay dan Lam Anton Ramli. Rumah yang terletak di Perumahan Golf Residence Semarang Jalan Bukit Golf II Nomor 12 Kelurahan Jangli Kecamatan Tembalang Semarang tersebut, kata Wibowo, bernilai Rp 7,1 miliar. "Dilunasi dengan tiga kali pembayaran," ujar dia.
Sedangkan di Depok, Direktur Utama PT Guna Bangsa Perkasa Fauzi Saleh memaparkan tahun 2006 hingga 2007 kantornya didatangi oleh Sudiyono yang hendak membeli dua unit rumah di Perumahan Pesona Khayangan Estate. Surat pembelian rumah tersebut, kata Fauzi, selesai pada 2008 yang kemudian diatasnamakan Dipta Anindita. "Harga masing-masing rumah tersebut yakni Rp 2,65 miliar dan Rp 1,65 miliar," kata Fauzi.
Inspektur Jenderal Djoko Susilo didakwa melakukan korupsi pada proyek pengadaan simulator mengemudi kendaraan roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 di Korps Lalu Lintas Polri. Dia dituding menggiring PT Citra Mandiri Metalindo Abadi agar menang dalam proyek itu. Dari pengadaan itu, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri itu didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain serta korporasi sehingga merugikan negara mencapai Rp 144 miliar.
Selain itu, Djoko juga dijerat dengan pasal pencucian uang dengan berupaya menyembunyikan harta hasil korupsi. Djoko diduga menyamarkan hasil korupsinya dalam bentuk investasi bisnis, kendaraan, dan tempat tinggal dengan mengatasnamakan para istrinya yang salah satunya yakni Dipta Anindita.
Keterangan mengenai salah satu aset Dipta di Jakarta, diungkapkan oleh saksi Baharatmo Prawiro Utomo. Dia menjelaskan Erick Maliangkay selaku notaris yang menerima kuasa dari Dipta menyatakan niatnya membeli tanah dan rumah seluas 246 meter persegi milik Baharatmo pada 2011. Rumah tersebut terletak di Jalan Cikajang Nomor 18 Jakarta Selatan. "Akhirnya terjadi kesepakatan harga senilai Rp 6,35 miliar dengan Rp 100 juta sebagai uang muka," kata dia.
Di Semarang, dalam persidangan yang sama, Manajer Pemasaran PT Graha Perdana Indah Wibowo Tejosukmono mengatakan pernah didatangi Dipta dan tiga orang laki-laki yang dua di antaranya merupakan Erick Maliangkay dan Lam Anton Ramli. Rumah yang terletak di Perumahan Golf Residence Semarang Jalan Bukit Golf II Nomor 12 Kelurahan Jangli Kecamatan Tembalang Semarang tersebut, kata Wibowo, bernilai Rp 7,1 miliar. "Dilunasi dengan tiga kali pembayaran," ujar dia.
Sedangkan di Depok, Direktur Utama PT Guna Bangsa Perkasa Fauzi Saleh memaparkan tahun 2006 hingga 2007 kantornya didatangi oleh Sudiyono yang hendak membeli dua unit rumah di Perumahan Pesona Khayangan Estate. Surat pembelian rumah tersebut, kata Fauzi, selesai pada 2008 yang kemudian diatasnamakan Dipta Anindita. "Harga masing-masing rumah tersebut yakni Rp 2,65 miliar dan Rp 1,65 miliar," kata Fauzi.
Inspektur Jenderal Djoko Susilo didakwa melakukan korupsi pada proyek pengadaan simulator mengemudi kendaraan roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 di Korps Lalu Lintas Polri. Dia dituding menggiring PT Citra Mandiri Metalindo Abadi agar menang dalam proyek itu. Dari pengadaan itu, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri itu didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain serta korporasi sehingga merugikan negara mencapai Rp 144 miliar.
Selain itu, Djoko juga dijerat dengan pasal pencucian uang dengan berupaya menyembunyikan harta hasil korupsi. Djoko diduga menyamarkan hasil korupsinya dalam bentuk investasi bisnis, kendaraan, dan tempat tinggal dengan mengatasnamakan para istrinya yang salah satunya yakni Dipta Anindita.
Inilah Hasil "Voting" Rapat Paripurna BBM
Rapat paripurna untuk mengesahkan RAPBN-P 2013 pada Senin (17/6/2013) malam akhirnya ditempuh melalui mekanisme voting. Hasilnya, sebanyak 65 persen anggota Dewan yang hadir menyetujui RAPBN-P 2013 yang berisi dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Berikut hasil voting yang dilakukan secara terbuka:
Berikut hasil voting yang dilakukan secara terbuka:
- Hanura : 14 orang menolak, 0 menerima
- Gerindra: 26 orang menolak, 0 menerima
- PKB: 23 orang menerima, 0 menolak
- PPP: 34 orang menerima, 0 menolak
- PAN: 40 orang menerima, 0 menolak
- PKS: 51 orang menolak, 0 menerima
- PDI Perjuangan: 91 orang menolak, 0 menerima
- Golkar: 98 orang menerima, 0 menolak
- Demokrat: 143 orang menerima, 0 menolak
Langganan:
Postingan (Atom)