Muslim di Thailand merupakan minoritas. Di tengah banyaknya zat-zat haram yang menjadi campuran bahan mentah di Thailand, Winai yang merupakan profesor dalam bidang ilmu kesehatan pada tahun 1995 menggagas penelitian untuk menelaah kandungan zat-zat yang meragukan dalam bahan makanan yang ada di Thailand.
Program penelitiannnya yang dilakukan di salah satu laboratorium kecil di Universitas Chulalongkorn -- Universitas Tertua di Thailand-- itu sukses dan diberi nama The Halal Science Center. Perlahan namun pasti, lembaga ini berhasil mengembangkan teknologi produk halal yang memaksa negara tetangga untuk menoleh kepada mereka.
Salah satu contohnya kesuksesannya, The Halal Science Center menerapkan aplikasi scaning barcode, yang bisa dilakukan warga menggunakan tablet ataupun smartphone. Jadi, pihak The Halal Science Center menyediakan software gratis untuk pemindaian label yang bisa didownload oleh siapapun.
Setelah dilakukan pemindaian, maka nanti di gadget akan muncul profil dari makanan terkait. Mulai dari siapa produsennya, batas akhir waktu konsumsi dan tentunya kepastian kehalalannya. Dengan teknologi ini, maka menutup ruang terjadinya penipuan.
Pada tahun 2006, Malaysia langsung melalui perdana menterinya Abdullah Ahmad Badawi memberi anugrah 'Best Innovation in Halal Industry' kepada The Halal Science Center. Pada tahun 2009, penghargaan serupa didapatkan dari Filipina. Lalu di 2011, Malaysia kembali memberi penghargaan dengan titel Halal Research Summit.
Tak hanya negara tetangga yang melemparkan pujian dan penghargaan kepada Winai dan lembaga yang dipimpinnya. Kerajaan Thailand pada 2009 memberikan penghargaan kepada Winai atas jasanya mengembangkan produk halal yang terbukti sangat membantu kaum muslim di Thailand, dalam memberikan rasa aman atas apa yang mereka konsumsi.
"Di negara muslim yang jumlahnya besar seperti milik Anda (Indonesia), akan merasa sangat aman soal perkara halal dan haram. Namun bagi kami yang tinggal di negara non muslim, kami harus sangat hati-hati," ujar Winai kepada wartawan dari Indonesia di Chulalongkorn, Bangkok ini.
Winai tampak begitu antusias menyambut rombingan wartawan dari Indonesia. Maklum saja, meski dia merupakan warga negara Thailand, darah yang mengalir di tubuhnya 100 persen Indonesia. Ayahnya, Irfan Dahlan anak Keempat dari Ahmad Dahlan merupakan seorang Jawa, begitu juga pula ibunya, seorang warga Thailand muslim dari perkampungan Jawa di negeri itu.
"Ayahnya saya dari Indonesia, dari Kauman (Yogyakarta). Ibu saya merupakan anak dari imam yang ada di masjid kampung jawa," ujar Winai yang tidak berbahasa Indonesia itu.
Winai pun menceritakan mengapa ada keturunan Ahmad Dahlan yang bisa 'terdampar' di Thailand. Ayahnya, Irfan Dahlan, dikirim belajar ke luar negeri tepatnya di Pakistan pada tahun 1924. Sepulang belajar dari Pakistan pada 1933, Irfan tidak dapat masuk ke Indonesia karena situasi politik yang tidak memungkinkan. Sebab, saat itu Lautan Hindia menjadi medan tempur Perang Dunia II antara sekutu dan Jepang.
Irfan adalah anak KH Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah yang dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri pergerakan Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mempunyai enam orang anak. Yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.
"Ayah saya memutuskan untuk tinggal di Thailand. Kenapa Thailand, karena di sini banyak warga Indonesia yang bermukim di sini dan bernasib sama,’’ kata Winai mengenang cerita dari ayahnya.
Situasi politik yang tidak stabil pada saat itu, membuat Irfan Dahlan tidak memiliki kesempatan untuk kembali ke Indonesia. Akhirnya, Irfan memutuskan untuk benar-benar menetap di Thailand. "Ayah saya tak sempat lagi untuk tinggal di Indonesia. Sejak pergi ke Pakistan, dia baru sekali diberi kesempatan pulang. Dia meninggal di sini," ujar Winai.
Meski merupakan keturunan langsung dari Ahmad Dahlan, Winai bukan seorang kader Muhammadiyah. Meski begitu dia mengaku cukup kagum dengan amal usaha Muhammadiyah. Dia mendapatkan pengetahuan tentang Muhammadiyah dari sejumlah buku. "Dan terakhir, film sang pencerah. Film itu menyadarkan saya mengenai betapa hebatnya upaya mendirikan Muhamadiyah," ujarnya.
Meski terpisah jarak dan status kewarganegaraan, Winai tetap menjalin hubungan dengan keluarga besar keturunan Ahmad Dahlan di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Pria berusia 60 tahun ini sudah beberapa kali pulang ke Kauman untuk bertemu dengan sepupu dan kerabat lain.
"Ketika beberapa tahun lalu pihak keluarga memutuskan untuk mewakafkan rumah di Kauman untuk Muhammadiyah, saya juga diajak berembug," tutur pria yang masih bisa menyanyikan lagu 'Naik Kereta Api' ini.